Sabtu, 03 Januari 2009

Setelah Masa Kehancuran Itu Berlalu, Saatnya Membangun Kembali Gerakan Perempuan Berideologi Kiri

Setelah Masa Kehancuran Itu Berlalu,

Saatnya Membangun Kembali Gerakan Perempuan Berideologi Kiri


Kehancuran Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), dapat dikatakan merupakan titik balik bagi sepak terjang gerakan perempuan di Indonesia. Sebelum masa kehancuranya, gerakan perempuan Indonesia—khusunya yang berideologi kiri—pada posisi pasangnya, dimana gerakan perempuan telah mampu dikeluarkan dari belenggu yang hanya sekedar memperjuangkan kesetaraan, tetapi telah berhasil didorong menjadi salah satu sektor massa-rakyat untuk menentang sistem ekonomi-politik dunia saat itu. Ketika masih dalam masa kejayaanya, gerakan perempuan Indonesia ada beberada bersama-sama kaum tani yang menuntut pembagian tanah yang dikuasi setan-setan desa dan kota, gerakan perempun juga bersama-sama kaum buruh menuntut nasionalisasi aset-aset imperialis Belanda yang ada di Indonesia, gerakan perempuan juga aktif menjadi sukarelawan-sukarelawan untuk mengusir imperialis Inggris dari Kalimantan Utara dan imperialis Belanda di Papua Barat.

Namun, setelah masa pasang diatas, kemudian disusul dengan masa surut yang berlangsung cukup lama. Setelah naiknya Soeharto—yang merupakan kolaborasi kapitalis bersenjata/tentara, borjuasi kanan, dan kapitalis internasional—yang berhasil memporakporandakan borjuasi yang berada di sekitar Soekarno—yang sebagian besar adalah borjuasi yang dulunya kaum priyanyi—dan sekaligus juga ikut menyapu gerakan kiri/PKI, luka yang diderita gerakan perempuan Indonesia memang cukup parah. Yang lebih menyanyat, kehancuranya tidak hanya secara organisasi—dilarangnya Gerwani dan gerakan perempuan yang dianggap seideologi-- tapi juga kehancuran secara ideologi dan politik gerakan perempuan itu sendiri—disamping ribuan anggota Gerwani yang dibantai untuk menjadi tumbal kekuasaan Orde Baru. Kehancuran secara ideologi, politik dan organisasi inilah, menyebabkan luka yang begitu mendalam bagi gerakan perempuan Indonesia, sehingga untuk ‘menyembuhkanya’ membutuhkan waktu yang begitu panjang, untuk membangunya kembali membutuhkan kesabaran yang luar biasa, harus sesabar sorang ibu yang mengandung janin sampai merawatnya hingga tumbuh menjadi anak dewasa.

Membutuhkan waktu hampir lima belas tahun untuk kembali membangun gerakan perempuan Indonesia. Angin sepoi-sepoi itu berhembus tahun 80-an—setelah gerakan mahasiswa ’78 dipatahkan dengan NKK/BKK, dan banyak mantan aktivis-aktivisnya yang lari keluar negeri, setelah mereka balik, membawa ide-ide kiri baru yang sedang mewabah di dunia utara sana—ide-ide kiri barulah yang memberikan energi baru bagi tumbunya gerakan demokratik di Indonesia—termasuk gerakan perempuannya. Memang pertumbuhanya memang lambat karena ideologi kiri baru yang menjadi ‘kompas’nya juga setengah-tengah, sehingga yang lahir bukan gerakan-gerakan perempuan seperti pada masa sebelum kehancuran, tetapi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang lebih banyak berebut ceceran dana dari imperialis untuk meredam radikalisasi gerakan demokratik di Indonesia. Sehingga, bantuan yang dapat mereka berikan kepada pembangunan gerakan perempuan di Indonesia, hanya memberikan wacana—walaupun hal ini juga tangung-tangung, setengah-tengah, parsial. Kelahirnya sudah cacat sejak dalam janin, sehingga tumbuhnyapun juga tidak sempurna. Sampai saat ini pun persoalan yang mereka bawa masih berputar-putar pada masalah kesetaraan gender, hak-hak politik, dan seambrek-ambrek masalah pingiran lainnya, tidak pernah menyentuh masalah esensial dari persoalan perempuan itu sendiri. Program-program yang ditampilkan pun merupakan program-program yang karikatif, dari work shop satu ke work shop lainya, dari ruang seminar di hotel yang satu ke tempat seminar yang lain. Secara garis besar, kelemahan dari gerakan perempuan yang muncul dari periode 80-an, yang sampai saat ini masih berkembang adalah: Pertama, menghasilkan gerakan yang sektarian. Gerakan-gerakan dari program sampai strategi taktik hanya berpusar-pusar pada persoalan perempuan sendiri. Konsep ‘kaca mata kuda’ inilah yang menyebabkan gerakan perempuan tidak berkembang dengan pesat karena terasing dari arus perkembangan situasi yang ada. Sikap sektarian ini juga menyebabkan gerakan perempuan terasing dari gerakan-gerakan sektor yang lain, tidak ambil pusing terhadap ketertindasan sektor lain. Kedua, lemah dalam pengorganisiran. Akibat lemahnya pengorganisiran ini menyebabkan gerakan perempuan tidak mempunyai basis massa. Yang berkembang selanjutnya, ide-ide tentang perjuangan kaum perempuan untuk melepaskan diri dari belenggu penindasan hanya dimonopoli oleh kalangan-kalangan tertentu dalam masyarakat, yang itu pun jumlahnya sangat tidak signifikan dibanding jumplah secara keseluruhan dari kaum perempuan itu sendiri---hanya mereka yang mempunyai akses-akses terhadap modal sehingga bisa mendapatkan informasi (melalui bangku kuliah, buku, seminar, dll) yang memonopoli kesadaran tentang perjuangan kaum perempuan, yaitu kalangan kelas menengah ke atas. Ketiga, penyebab kedua kelemahan di atas adalah keleman dalam hal ideologi. Sejak kehancuran Gerwani, idekogi gerakan perempuan di Indonesia yang dominan berkembang adalah ideologi gerakan perempuan liberal—yang menuntut kesetaraan antara laki-laki dan perempuan—dan ideologi gerakan perempuan radikal—yang berpandangan kaum laki-laki adalah musuh kaum perempuan yang menyebabkan kaum perempuan tertindas. Kedua ideologi tersebut tidak memberikan basis analisa yang menyeluruh dalam mengupas persoalan perempuan—tetapi malah lebih banyak memberikan landasan yang keliru bagi perjuangan gerakan perempuan. Kelemahan ini kemudian berimbas pada strategi, taktik sampai program yang diperjuangan oleh gerakan itu sendiri.

Mencari Akar Penindasan

Sebelum kita merumuskan bagimana konsep gerakan perempuan yang sesuai untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul saat ini, akar terhadap penindasan terhadap kaum perempuan haruslah dicari dahulu. Mengapa? Karena hal ini akan menjadi landasan untuk merumuskan format gerakan perempuan. Dalam pemikiran marxist terdapat logika bahwa sistem ekonomi merupakan dasar dalam kehidupan manusia, oleh karenanya manusia mempunyai eksitensi ketika melakukan kerja untuk bisa mempertahankan kelangsungan hidupnya—ini didasarkan pada kenyataan bahwa kebutuhan dasar manusia adalah untuk mempertahankan kelangsungan hidup, untuk memenuhi kebutuhan primer maupun sekunder. Atas dasar inilah peradaban umat manusia dibangun di atas dunia ini—dari usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya—yang kemudian cara manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidup ini akan menghasilkan hubungan-bungan produksi dalam masyarakat, yang selanjutnya akan menentukan struktur ekonomi masyarakat, yakni fondasi (basis) bagi perkembangan peradaban umat manusia—yang kemudian dikenal dengan corak produksi. Engels, dalam pengantar edisi pertama The Origin of the Family, Private Property and the State yang muncul di Zurich pada tahun 1884, menyatakan: “Menurut konsep materialistik, faktor penentu dalam sejarah pada akhirnya adalah produksi dan reproduksi kebutuhan hidup. Keduanya memiliki karakter ganda. Pada satu sisi, karakteristik produksi ditujukan untuk membangun sarana subsistensi dengan pangan, sandang, dan papan sebagaimana alat-alat yang diperlukan untuk produksi tersebut. Sementara, disisi lain karakter produksi dilekatkan pada produksi umat manusia itu sendiri, perkembangbiakan spesies. Institusi sosial yang dimiliki oleh masyarakat pada jaman tertentu dan negara tertentu, ditentukan oleh dua bentuk produksi: yaitu melalui tahap perkembangan tenaga kerja di satu sisi, dan melalui tahap perkembangan keluarga di sisi yang lainnya”.

Di atas, fondasi sejati tersebut—corak produksinya—berdiri suprastruktur-- Politik, hukum, etika, agama,budaya,Negara, dll. Dengan logika ini, perubahan supra struktur merupakan akibat dari perubahan dalam sistem ekonominya. Perubahan dalam sistem ekonomi sendiri terjadi tatkala hubungan produksi pada masa tertentu dari sistem ekonomi tertentu tidak mampu mewadai perkembangan kekuatan produksi (manusia, modal, bahan mentah, alat produksi) pada masa sistem ekenomi tertentu. Maka ketika sistem ekonominya berubah, secara langsung akan mempengaruhi perubahan suprastrukturnya. Marx dan Engels dalam pengantar A Contibution to the Critique of Political Economy, menyatakan: “Pada tahap tertentu perkembangannya, tenaga-tenaga produktif material masyarakat akan bertentangan dengan hubungan-hubungan produksi yang ada, atau akan bertentangan dengan hubungan-hubungan kepemilikan – apa yang secara legal/hukum merupakan istilah lain dari hubungan-hubungan produksi – yang sedang mereka jalani. Dalam bentuk-bentuk perkembangan tenaga-tenaga produktif tertentu, hubungan-hubungan kepemilikan tersebut kemudian berubah menjadi belenggu mereka. Setelah itu, datanglah epik revolusi sosial. Bila ada perubahan dalam fondasi ekonomi maka, secara besar-besaran, seluruh suprastruktur sedikit banyak akan pula ditransformasikan secara cepat”. Sebagai contoh agar memperoleh kejelasan dalam hal ini, penulis mengambil contoh perubahan dari masyarakat feodalisme menuju masyarakat kapitalisme, pada masa feodalisme terjadi perkembangan dari tenaga produktif (sifat tenaga produktif selalu aktif) sehingga hubungan produksi pada masa feodalisme tidak mampu mewadainya lagi, akibatnya terjadilah revolusi (Contoh:Revolusi Prancis) sehingga hubungan produksi yang sudah usang (hubungan produksi feodalisme) digantikan hubungan produksi kapitalisme. Perubahan sistem ekonami ini—dari sistem ekonomi feodalisme menjadi sistem ekonomi kapitalisme—secara langsung akan mempengaruhi sistem politiknya, sistim hukumnya, sistem etikanya, budaya, kepercayaan dan supara struktur yang lain.

Agar pemahaman kita tentang analisa ekonomi-politik Marxist lengkap, untuk sekilas kita perlu menengok tentang esensi negara itu sendiri—karena negera inilah yang dijadikan bungkus dari kelas yang berkuasa untuk melekukan penindasan. Negara merupakan produk sosial dari masyarakat sosial itu sendiri, yang keberadaanya menandakan adanya pertentangan-pertentangan kelas dalam masyarakat. Esensinya, seperti yang ditulis Marx bahwa negara adalah organ kekuasaan kelas, organ penindas dari satu kelas terhadap kelas yang lain. Dalam masyarakat kapitalisme seperti saat ini, negara jelas merupakan organ kelas borjuasi—esekutif, legeslatif, yudikatif, angkatan bersenjata dan lembaga-lembaga yang lain—semuanya dibentuk untuk kepentingan kelas borjuasi. Sekaligus negara dalam masyarakar kapitalis juga digunakan untuk menindas kelas proletariat dengan segala lembaganya—baik birokrasi maupun militernya. Engels dalam Anti Duhring sebagai mana dikutip Lenin dalam Negara dan Revolusi, menjelaskan sebagai berikut: “Negara adalah wakil resmi seluruh masyarakat dan pemusatan masyarakat dalam lembaga yang tampak, tetapi negara menjadi demikian hanya selama ia merupakan negara dari kelas yang sendirian pada zamannya mewakili seluruh masyarakat; pada jaman kuno ia adalah negara dari warga negara pemilik budak, pada zaman tengah ia negara dari bangsawan feodal, pada zaman kita ia negara dari borjuasi”.

Dengan analisa di atas, kita dapat mencari jejak sebab-sebab perempuan terindas. Dari perubahan corak produksi lama yang kemudian digantikan oleh corak produksi –dalam konsep marxisme dikenal perubahan corak produksi dari komune primitif menjadi perbudakan/Asiatic

Feodalisme kapitalisme sosialisme/komunisme—yang mana setiap perubahan dari corak produksi yang satu ke corak produksi yang lain disertai penguasaan alat-alat produksi oleh kelas yang berkuasa. Pada masa komune primitif belum ada penguasaan alat produksi oleh sekelompok masyarakat tertentu—alat produksi masih dimiliki secara kolektif—dengan demikian kelas-kelas sosial belum ada. Dalam masa ini peranan perempuan dapat dikatan lebih dominan daripada laki-laki karena perempuanlah yang mengolah hasil produksi yang dihasilkan—mengolah hewan hasil buruan, membuat perkakas dari tembikar, dll. Akan tetapi seiring dengan hukum ekonomi bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas, sedangkan bahan yang ada terbatas dan populasi uamat manusia semakin bertambah, mulailah terjadi perebutan sasaran produksi—bahan mentah/sumber daya alam — dan alat produksi—tombak, kapak, tanah, dll. Inilah yang kemudian mendorong perubahan corak produksi dari komune primitif menjadi perbudakan/ mengikuti tipe asiatic—yang juga awal terbentuknya kelas-kelas sosial dalam masyarakat karena dikuasainya alat produksi oleh segelintir masyarakat atas masyarakat yang lain, yang juga memunculkan penindasan manusia atas manusia. Dengan adanya kelas-kelas sosial ini—yang terdiri dari kelas yang menindas dan yang ditindas, yang sekaligus memunculkan intutusi yang saat ini kita kenal sebagai keluarga—sebetulnya bukan hanya kaum perempuan yang tertindas, melainkan juga kaum laki-laki yang masuk dalam kelas tertindas. Akan tetapi, karena dalam tranformasi antara masyarakat komune primitif menjadi masyarakat perbudakan/asiatic, posisi kaum perempuan semakin terdomestifikasi—mengurusi urusan-urusan seputar rumah, yang dianggap kurang berarti dalam hubungan produksi masyarakat berkelas—posisi kaum perempuan selain tertindas oleh sistem ekonomi yang membelengunya sekaligus juga dalam posisi tersubordinasi oleh kaum laki-laki—posisi tersubordinasinya kaum perempuan inilah yang kemudian dijadikan landasan bagi gerakan feminis yang beraliran radikal, tanpa melihat penguasaan alat produksi yang kemudian menyeybabkan munculnya kelas-kelas sosial, sehingga mereka kemudian menyimpulkan bahwa penyebab penindasan adalah kaum laki-laki. Jadi, dari uraian di atas dapat tersimpulkan bahwa penyebab penindasan terhadap kaum perempuan adalah penguasaan alat produksi oleh sekelompok masyarakat tertentu terhadap sekelompok masyarakat yang lain, yang kemudian memunculkan kelas-kelas sosial.

Dalam Konteks Indonesia Saat Ini

Sekarang kita kembali ke konteks gerakan perempuan Indonesia. Setelah memperoleh landasan dari urain di atas tentang akar penindasan, barulah kita dapat menyusun format gerakan perempuan di Indonesia. Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa akar penindasan terhadap kaum perempuan adalah penguasaan alat produksi yang kemudian memunculkan kelas-kelas sosial. Dalam konteks corak produksi masyarakat Indonesia saat ini adalah corak produksi kapitalisme, tetapi yang perlu digaris bahawahi, bahwa kapitalisme yang berkembang di Indonesia berbeda dengan kapitalisme yang berkembang di Eropa. Kapitalisme di Indonesia adalah kapitalisme cangkokan, yang berkembang bukan karena perjuangan kaum borjuasi Indonesia yang merobohkan feodalisme, tetapi dicangkokkan oleh kapitalis Belanda. Tidak seperti yang terjadi di Prancis ketika borjuasi negara tersebut menggilas kekuasaan tuan-tuan feodal dengan Revolusi Prancis yang maha dasyat itu, borjuasi Indonesia tidak melakukan apapun untuk kemajuan sejarah negerinya. Borjuasi Prancis dengan cucuran darah dan keringat merebut kekuasaan dari tangan feodalisme yang telah usang, melucuti kaum bangsawan dari privasi-privasinya , menegakkan sistem baru yang lebih manusiawi, tapi borjuasi Indonesia yang lahir dari persetubuhan antara kolonialisme dan feodalisme, malah tumbuh menjadi parasit baru ditengkuk rakyat Indonesia yang dijajah oleh imperialisme Belanda. Mereka tidak menghancurkan feodalisme, tetapi malah mempertahankanya dan juga tidak mengusir bangsa yang telah menjajahnya, tetapi malah bekerjasama menghisap rakyat sehingga hanya tersisa tulang belulang kesengsaraan. Sehingga dapat dikatakan, bahwa kapitalisme yang muncul di Indonesia tidak menghancurkan feodalisme, tetapi malah memeliharanya untuk memperlancar penindasan yang dilakukan oleh imperialisme di Indonesia. Akibat dari perkembangan corak produksi kapitalisme seperti ini ada dua hal: Pertama, akibat tidak dipukul hancurnya feoadalisme ini, sisa-sisa kebudayaan feodalisme—salah satu bentuknya sistem patriaki—masih melekat kuat dikepala masyarakat Indonesia. Yang terjadi selanjutnya, walaupun corak produksinya kapitalisme, tetapi isi sel-sel otaknya masih dipenuhi risidu-risidu cara berfikir feoadal, sehingga cara berfikir feoadal yang masih usang masih mendominasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Inilah yang kemudian menghambat kemajuan masyarakat Indonesia karena unsur-unsur usang masih digunakan, dan salah satunya adalah cara berfikir tentang posisi kaum perempuan—yang masih dianggap manusia nomer dua. Kedua, tidak tumbuh borjuasi yang tangguh di Indonesia. Dari sejarahnya, borjuasi yang lahir di Indonesia adalah borjuasi yang lahir karena belas kasihan imperialis Belanda, yang dalam perkembangan selanjutnya, posisi mereka diambil alih oleh tentara—sejak kegagalan menguasai aset-aset hasil nasionalisasi milik Belanda—sehingga mereka hanya menerima ceceran dari borjuasi bersenjata—sejak borjuasi bersenjata tahun Oktober 1965 setelah bergandengan tangan dengan borjuasi internasional (Amerika, Inggris dan sekutu-sekutunya). Dengan posisi yang rapuh seperti saat ini, mereka sangat tergantung kepada kapitalis internasional dan kekuatan bersenjata. Akibat selanjutnya, seperti yang kita saksikan saat ini, setelah paska tergulingnya kediktoran Soeharto, gelombang revolusi demokratik yang sudah bergulir sejak tahun 1998 malah mengalami arus balik—ruang demokrasi semakin menyempit, kehidupan ekonomi semakin porak-poranda, tergantungan terhadap modal asing semakin menjadi-jadi.

Pada masa rejim Mega-Haz ini, ada problem yang cukup krusial yang dihadapi oleh bangsa Indoensia. Sisa-sisa OrBa, Reformis Gadungan, Tentara dan kapitalis internasional, semuanya ini menjadi pilar-pilar dari kekuasaan Mega-Haz ini. Bagi kapitalis internasional, Megawati adalah nyonya yang sangat patuh kepada mereka, sehingga segala kehendak dari tuan-tuan modal asing ini pasti akan dilaksanakan—mualai dari privatisasi (mengobrol aset-aset milik bangsa) sampai pemotongan subsidi (semua yang tercantum dalam LOI), pasti akan dilaksanakan. Pemerintahan Mega-Haz tidak perduli lagi terhadap nasib yang didirita rakyat akibat kebijaksanaan-kebijaksanaan yang mereka ambil, yang penting bagi mereka adalah memuaskan nafsu dari tuan-tuan pemilik modal. Dalam hal demokratisasi, selama pemerinatahan Mega-Haz semakin lama semakin menutup ruang demokrasi yang telah diperjuangan mahasiswa-rakyat paska pengulingan Soeharto. Setiap protes-protes rakyat selalu dijawab dengan represi, penangkapan dan bahkan mengunakan preman-preman banyaran. Apalagi dalam situasi seperti saat ini, tatkala sogokan-sogokan yang diberikan oleh rejim Mega-Haz tidak mampu meredam radikalisasi massa, mereka semakin kalang-kabut. Sehingga mempertahankan kekuasaan seperti ini tentu akan menjadi noda sejarah bagi proses kemajuan bangsa Indonesia.

Sementara itu, ditingkat kesadaran massa-rakyat pada masa rejim Mega-Haz terdapat kemajuan yang cukup signifikan. Kalau kita perhatikan, ketika pada masa akhir kekuasaan Soeharto, yang muncul adalah kesadaran anti kediktoran. Sehingga seluruh energi massa-rakyat yang berlawan, bermuara untuk mengulingkan simbul kediktoran tersebut—tuntutan yang meluas ketika itu adalah Turunkan Soeharto. Setelah Soeharto tumbang sampai munculnya masa pemerintahan Gus Dur, yang tumbuh meluas adalah kesadaran anti sisa-sisa Orde Baru. Sebagai manisfestasinya, kantor-kantor Golkar dibeberapa tempat dihancurkan, meluas tuntutan untuk membubarkan Golkar. Saat ini, kesadaran massa-rakyat menunjukkan kemajuanya, kesadaran yang tumbuh adalah kesadaran orang-orang miskin melawan orang-orang kaya yang menguasai modal. Tidak buruh, tani, mahasiswa, kmk, semua muara perlawannya adalah melawan pemilik-pemilik modal, melawan kekuasaan yang memihak kelompok yang mempunyai modal. Dapat dikatakan, kesadaran yang muncul adalah kesadaran kelas, antara pemilik modal yang menindas melawan kaum yang tidak memiliki modal yang diposisikan sebagai kelas yang ditindas. Situasi ini yang berkembang saat ini adalah lahan yang subur untuk merobohkan borjuasi nasional yang sekarat, apalagi ditambah adanya krisis kapitalisme internasional yang semakin meluas. Sehingga, sekali pukul akan menghancurkan dua kekuatan musuh utama rakyat miskin, rejim borjuasi nasional dan kapitalis internasional.

Lalu, dalam posisi seperti saat ini, dimanakah posisi gerakan perempuan harus berada?

Feminisme Sosialis: Apa? Bagaimana? Dan Mengapa Kita Harus Menolak Feminisme Borjuis?

Agenda Perempuan

Feminisme Sosialis: Apa? Bagaimana?

Dan Mengapa Kita Harus Menolak Feminisme Borjuis?


Feminisme dikatakan sebagai sebuah ide yang diantaranya berupaya melakukan pembongkaran terhadap ideologi penindasan atas nama gender, pencarian akar ketertindasan perempuan, sampai upaya penciptaan pembebasan perempuan secara sejati. Feminisme adalah basis teori dari gerakan pembebasan perempuan.

Gerakan perempuan dan ide feminisme memandang perempuan sampai detik ini selalu dalam posisi tertindas, sub-ordinat secara sistem dan terpenjara secara ideologis. Sampai di sini, - kami kaum Sosialis sangat sepakat dan bahkan kami memandang perjuangan pembebasan perempuan harus sejalan dengan perjuangan Sosialisme.

Ada berbagai macam aliran Feminisme yang berkembang; sebut saja : Feminisme Liberal, Feminisme Radikal dan Feminisme Post Modern. Di samping itu ada pula istilah Feminisme Anarkis, bahkan juga berkembang aliran dalam penamaan agama seperti Feminisme Islam atau Feminisme Kristen.

Bagaimana kita harus memilih antara berbagai solusi yang ditawarkan masing-masing aliran? Kami hanya punya satu jawaban untuk itu: kita harus mencari mana yang menawarkan solusi yang paling menyeluruh dan akan membawa perubahan yang mendasar.

Kita akan lihat satu-persatu apa yang ditawarkan oleh masing-masing aliran ini untuk melihat hal itu.

Feminis Liberal

Apa yang disebut sebagai Feminis Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri.

Apa jalan keluar yang ditawarkan oleh Feminis Liberal? Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki. Perempuanlah yang harus membekali diri dengan bekal pendidikan dan pendapatan. Inilah yang dikatakan oleh salah seorang tokohnya, Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.

Pandangan ini jelas bersifat reformis dan moderat. Isu persamaan hak antara laki-laki dan perempuan serta perluasan hak-hak individu (termasuk jatah kuota sekian persen untuk perempuan di bangku parlemen atau pemerintahan) berikut solusi-solusinya, adalah gaya mereka. Juga pelibatan perempuan dalam industrialisasi dan program pembangunan, yang populer disebut Women in Development. Intinya ialah semua action pergerakan perempuan dilakukan sedikit demi sedikit tanpa mengganggu status quo kekuasaan. Pada akhirnya lelaki harus dipaksa untuk memberikan "tempat" pada perempuan dalam segala bidang kehidupan.

Apa kritik yang signifikan untuk Feminisme Liberal?

Hal penting yang harus dikemukakan ialah, Feminisme Liberal tidak pernah mempertanyakan ideologi Patriarki dan sama sekali tidak bisa menjelaskan akar ketertindasan perempuan. Mereka hanya mengatakan, permasalahan pada perempuan selama ini ialah pada perempuan sendiri dan jalan keluarnya ialah perempuan yang harus membekali diri sendiri dengan pendidikan dan pendapatan. Apakah para liberal tidak bisa melihat bahwa justru kaum perempuanlah yang merupakan golongan yang paling minim untuk mendapatkan akses pendidikan, baik karena biaya pendidikan yang mahal atau pun bentuk diskriminasi yang kerap terjadi. Dengan cara apa perempuan bisa mendapatkan penghasilan yang layak, ketika bagian terbesar perempuan hidup di dunia ketiga, yang merupakan korban imperialisme dan hidup di bawah garis kemiskinan. Lalu untuk kasus negara maju, apakah jika banyak perempuan telah memiliki pendidikan dan penghasilan yang tinggi, secara otomatis sistem penindasan itu akan hapus? Pada kenyataannya: tidak. Perempuan tetap tertindas, karena memang Kapitalisme memerlukan ideologi Patriarkal.

Secara faktual gerakan ini juga tak bisa menangkal serangan pemerintah terhadap perempuan, di mana dalam banyak kasus kemanusiaan, perempuan dan anak jadi korban pertama. Para Liberal juga gagal menjelaskan mengapa secara sexis (sesuai dengan kajian utama mereka) masalah ketidaksetaraan gender masih berlaku secara signifikan; bahkan di negara kapitalis maju sekalipun masih ditemui pula perbedaan gaji antara buruh perempuan dengan buruh lelaki.

Keberadaan Feminisme Liberal sering dituduh sebagai senjata kelas borjuis, karena penuh dengan "selubung ideologis". Selubung ideologisnya ialah pelemahan terhadap radikalisasi gerakan perempuan yang secara masif bersatu dengan kekuatan Kiri pada masa-masa perlawanan tumbuh di Eropa dan Amerika Serikat. Apalagi inspirasi pekerja perempuan Rusia pada gerakan Revolusi Rusia 1916 dan buruh-buruh perempuan Amerika Serikat yang menelurkan aksi hari Buruh Internasional (May Day) begitu terngiang-ngiang dan menakutkan bagi kelas penguasa negara-negara kapitalis maju. Jika Feminisme Liberal ini diterapkan, tentunya akan membelokkan tuntutan-tuntutan progresif ke arah tuntutan yang moderat dan reformis. Tuntutan-tuntutan politik untuk perubahan sistem secara keseluruhan akan diganti dengan "peningkatan kemampuan personal" atau "penguatan kepribadian".

Karena sangat bersesuaian dengan kepentingan kelas penguasa inilah dukungan keuangan untuk gerakan liberal ini dalam bentuk organisasi, LSM dan pers, sangatlah besar. Kita dapat melihat bahwa sebagian besar majalah dan tabloid yang mengkhususkan diri di bidang perempuan saat ini menganut paham liberal semacam ini. Jika diperhatikan isinya, tidak ada sekalipun majalah-majalah ini mencoba mengemukakan persoalan yang dihadapi oleh perempuan secara sistemik. Semua persoalan akan direduksi menjadi persoalan pribadi.

Tentu kami tidak akan menyangkal bahwa segelintir perempuan akan berhasil menerapkan Feminisme Liberal ini untuk membebaskan dirinya. Namun, bagaimana dengan mayoritas kaum perempuan yang miskin dan dimiskinkan? Mereka yang menganut Feminisme Liberal akan mengatakan bahwa ini adalah "salah mereka sendiri tidak mau beremansipasi". Pandangan yang naif dan jelas keberpihakannya pada kelas penguasa.

Inilah yang alasan kami mengapa ideologi Feminisme Liberal ini berbahaya untuk gerakan pembebasan perempuan dan dari berbagai varian yang ada, jenis Liberal inilah yang paling berbahaya.

Feminisme Radikal

Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 70-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi.

Basis teori ini ialah bahwa sistem patriarkal tersebut datang dari perbedaan biologis antar jenis kelamin, khusunya peran perempuan dalam reproduksi. Intinya adalah penindasan secara kelamin (sex),di mana perempuan ditindas oleh lelaki. Tetapi berbeda dengan Feminisme Liberal yang menuntut kesetaraan gender untuk kesamaan peran secara moderat (artinya lelaki adalah musuh yang bisa disadarkan) - aliran ini malah menganggap lelaki sebagai "musuh tak terdamaikan". Mereka mengatakan: "karena lelaki tak mengalami penindasan seksual, maka laki-laki tak mengerti akan perjuangan pembebasan perempuan" .

Bagi Feminis Radikal, inilah yang disebut sebagai perbedaan esensial. Karena intinya adalah permasalahan biologi, maka mereka perlu melokalisir sumber permasalahan yakni sex. Seksisme sesuatu yang tak terhindarkan, karenanya yang menjadi musuh adalah laki-laki. Teori patriarkal mereka mengatakan bahwa dominasi lelaki pada hakekatnya jahat, suka melakukan kekerasan, suka berperang dan suka melakukan pemaksaan seksualitas. Perempuan hanya dijadikan sekedar obyek sosial belaka. Penjelasan mereka hanya berhenti pada masalah biologis saja tanpa ada penjelasan sosial tentang seksualitas tersebut. Mereka mengatakan pula bahwa teori mereka adalah "karena penindasan berbasis biologis itu adalah sesuatu yang alamiah" maka tawaran teori mereka ini "murni" membela perempuan tanpa terkontaminasi pikiran dan budaya laki-laki. Mereka mengajukan pula praktek lesbianisme sebagai solusi seksualitas secara konsisten.

Tak heran, sebagai konsekwensi dari kekacauan teori mereka ini dalam prakteknya mereka menentang pastisipasi lelaki dalam aksi-aksi nyata pembebasan perempuan. Prioritas dari gerakan mereka hanya berkutat pada seksualitas, teknologi reproduksi, perkosaan dan kekerasan seksual. Propaganda mereka lebih banyak bergerak di bidang studi perempuan. Mereka juga sering mengedepankan jargon personal is political, sebagai ungkapan pendapat bahwa perlawanan atas penindasan perempuan bisa dalam bentuk yang sangat personal dan subyektif urusan perempuan itu sendiri.

Jika kita memakai teori ini, jelas bahwa kita akan beranggapan bahwa sejak manusia muncul di dunia ini laki-laki telah menindas perempuan. Dan ketika mereka berhadapan dengan fakta-fakta dari lapangan sejarah bahwa dalam masyarakat berburu dan mengumpul kesetaraan ini ada, mereka kebingungan. Mereka kemudian mengajukan teori "Man the Hunter" vs "Women the Gatherer". Mereka berusaha memutarbalikkan fakta sejarah seakan-akan yang berburu adalah laki-laki, sehingga di dalam diri setiap laki-laki akan muncul nafsu membunuh dan merampas, sedangkan yang mengumpul adalah perempuan, sehingga dalam diri perempuan mengalir naluri membangun dan memelihara. Ini bukan saja sebuah pandangan yang naif, namun sudah menjadi sebuah propaganda hitam. Ini adalah penyesatan. Laki-laki dan perempuan sama-sama melakukan perburuan dan pengumpulan bahan makanan. Mungkin mereka tidak tahu bahwa para ahli neurofisiologi telah menemukan bahwa kecenderungan righthandedness (kebanyakan orang lebih dapat menggunakan tangan kanannya daripada tangan kirinya) yang khas terdapat pada manusia adalah hasil evolusi panjang yang diawali oleh keharusan para ibu untuk menggendong bayinya ketika berburu.

Teori yang mereka kembangkan ini jelas gagal dalam menjelaskan bukan saja akar permasalahan dan asal-usul ketertindasan perempuan, tetapi juga bagaimana praktek penindasan itu terjadi. Teori mereka yang berdasar pada permasalahan biologi dan kelamin, yang pada awalnya berusaha mengambil landasan rasional gugur berantakan ketika berhadapan dengan fakta-fakta ilmiah dan berubah menjadi manupulasi. Memang benar pembedaan jenis kelamin akan selalu ada, tapi secara sosial itu tak bisa dijadikan persoalan. Kenyataannya yang jadi korban penindasan terbesar adalah pekerja - baik itu perempuan maupun lelaki.

Dan kegagalan paling besar dari Feminisme Radikal adalah kegagalannya menerangkan mengapa banyak pemimpin perempuan justru menindas kaumnya sendiri. Margareth Tatcher, misalnya, justru membalikkan peraturan-peraturan yang dibuat pendahulunya yang laki-laki, peraturan-peraturan yang banyak memberi kesempatan perempuan dari kelas-kelas bawah untuk mendapatkan pendidikan. Di negeri sendiri, kita melihat bahwa Megawati, seorang perempuan, telah memotong banyak anggaran subsidi - satu hal yang pasti sangat merugikan kaum perempuan dari kelas-kelas bawah yang semakin akan kesulitan untuk mengatur anggaran belanjanya. Megawati sama sekali tidak berbuat sesuatu untuk memperbaiki nasib kaum perempuan di negeri ini. Fenomena ini sama sekali gagal dijelaskan oleh Feminisme Radikal.

Penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Namun, penindasan itu tidak dapat diterangkan dengan mengandalkan diri pada perbedaan biologis antara keduanya.

Feminisme Post Modern

Ide Posmo - menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial, tetapi lebih dalam makna diskursus.

Sebenarnya teori ini lahir dari kemunduran dan demoralisasi gerakan kiri dan gerakan perempuan pada tahun 1970an disusul dengan runtuhnya rezim Stalinisme di Uni Sovyet dan Eropa Timur. Ide ini lahir dari kefrustasian para mantan Marxis yang salah satu motornya ialah kelompok Frankfurt School.

Berawal dari kefrustasian inilah mereka kemudian merumuskan bahwa "semua kebenaran itu relatif", kebenaran yang mutlak tidak ada. Dengan demikian, konsepsi tentang pembebasan perempuan kemudian dikembalikan pada pengalaman masing-masing individu. Mereka percaya bahwa tidak akan ada satupun konsep pembebasan perempuan yang akan membebaskan perempuan sebagai kaum. Pembebasan itu hanya dapat terjadi jika semua perempuan sudah dapat "menemukan konsepsi mereka sendiri tentang pembebasan perempuan".

Mereka ini tidak menyadari bahwa pembentukan ide di kepala manusia sangat ditentukan oleh lingkungan sosialnya. Seorang perempuan yang tiap hari mendengar kotbah dari para agamawan yang dogmatis dan kolot, yang menentang persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan, pasti akan dengan sendirinya turut menolak pembebasan perempuan.

Ide-ide yang ada pada feminisme posmo jelas mengandung banyak kelemahan. Pemecahan pada individu-individu untuk "mengerti akan penindasan" tidak bisa menjelaskan mengapa mayoritas massa rakyat -dan diantara yang masyoritas itu jumlah perempuan adalah yang terbesar - hidup dalam masalah penderitaan secara ekonomi dan sosial. Gejala sosial apa yang bisa diterangkan oleh posmo? Tak ada. Karena pemutlakan individu adalah penekanan mereka, sementara masalah penindasan adalah masalah mayoritas umat manusia. Jelas ini destruktif untuk mengaburkan persoalan-persoalan sosial. Apakah pekerja perempuan yang ditindas di dalam pabrik suatu negara kapitalis terbelakang, bisa diselesaikan secara individual?

Satu hal lagi yang harus dikritik dari Feminisme Posmo: kecenderungannya mengadakan usaha perubahan hanya dalam bentuk diskursus. Ini ngomong doang. Tidak akan pernah ada perubahan dari ruang-ruang seminar. Sejarah dunia telah membuktikan berkali-kali pada kita bahwa perubahan hanya dapat diperoleh di jalanan - dengan aksi-aksi massa. Dalam hal apapun. Baik itu dalam persoalan Orde Baru maupun dalam soal perempuan. Jika mereka berpikir bahwa persoalan perempuan dapat diselesaikan dari ruang-ruang diskusi, mereka ini naif sekali. Tapi, jika mereka percaya bahwa memang demikian halnya, mereka justru membantu patriarki untuk tetap berkuasa secara dominan karena apapun yang mereka perdebatkan di ruang-ruang seminar ber-AC itu tidak akan pernah terjangkau oleh perempuan pekerja di pabrik-pabrik atau perempuan petani di sawah-sawah.

Perantaraan linguistik (bahasa) yang menjadi medium untuk memecah-mecah persoalan, tidak akan berguna untuk merespons perjuangan massa rakyat yang semakin masif di berbagai belahan dunia, karena kaum perempuan miskin tidak paham tentang bahasa-bahasa elitis ini. Jika kita ingin membebaskan seluruh kaum perempuan, kita justru harus bicara dalam bahasa yang paling sederhana. Kita harus menginggalkan "bahasa kita" dan mulai bicara dengan "bahasa mereka". Perdebatan tentang bahasa hanya akan menghasilkan pengaburan atas pokok permasalahan sebenarnya dan justru akan dapat dimanfaatkan oleh kelas pemilik modal.

Feminisme Anarkis

Anarkisme sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan. Mereka seperti kaum posmo -anti otorianisme, anti kelembagaan dan sistem; karenanya eksistensi kekuasaan dan negara harus ditolak karena lembaga adalah sumber penindasan. Masyarakat sosialis menurut versi mereka ialah masyarakat federal yang terdiri dari komune-komune otonom yang melakukan produksi bersama. Dalam praktek perjuangannya pun, karena mereka anti otorian, mereka berelasi lewat jaringan-jaringan kerja (networks) dan menganggap bahwa organisasi yang ketat dan berdisiplin, melanggar kebebasan individu.

Feminisme Anarkis - yang juga banyak variannya (bahkan ada varian yang pro kapitalisme, walau tidak dominan) - secara umum mendasarkan pada pemahaman demikian : penindasan perempuan karena adanya sistem yang menindas. Kapitalisme adalah sistem yang menindas dan sistem itu sendiri adalah otorianisme yang pula menindas. Feminisme Anarkis menyatakan bahwa negara dan patriarki adalah penyimpangan yang merampas kebebasan dan karenanya harus segera dihancurkan. Teori ini menganggap subordinasi perempuan ditentukan sedemikian rupa oleh sistem hubungan seksual dan keluarga sebagaimana juga oleh kontrol negara, karenanya semua hambatan sosial harus dihilangkan dan menggantinya dengan komunmitas perempuan yang desentralis dan organis. Tokoh-tokoh Feminis awal seperti Emma Goldmann dan Voltaire berpendapat bahwa sikap-sikap sosial akan tumbuh secara organis menjadi kebebasan seksual dan psikologis.

Kewaspadaan untuk Feminisme Anarkis

Kelemahan yang paling mencolok dari teori anarkisme sebagai suatu paham ialah ketidakpercayaannya pada bentuk-bentuk otorianisme - karena ilusi libertariannya tersebut. Pemujaannya yang berlebihan pada kebebasan individu mengaburkan kenyataan bahwa kelas yang dihadapi adalah kelas yang menggalang kekuatannya secara organisasional yang amat rapi dan ketat, di mana kelas pemodal ini memiliki seperangkat hukum, tentara dan senjata sebagai alat-alat kekerasan; (tentu saja mereka juga punya alat-alat ideologinya yang didukung fasilitas dan dana besar : seni, ilmu, media massa, pendidikan dll). Anarkisme menolak pengorganisiran secara kelas, sementara lawannya adalah kelas pemodal yang begitu sadar untuk mengorganisir diri secara kelas pula.

Apa artinya ini? Kaum anarkis dengan caranya tersebut telah membantu kelas kapitalis untuk mencegah perlawanan teorganisir dari kelas pekerja.

Demikian pula teori feminisme anarkis akan menumpulkan kesadaran perempuan yang akan terilusi pada ide kebebasan yang anti dialektika ini. Ada dua kesalahan pada teori ini : pertama pandangan bahwa kebebasan bisa dipraktekkan dalam lapangan politik (jika mereka itu pun sepakat bahwa perjuangan perempuan adalah politik) yang begitu keras menghadapi kekuatan kelas bermodal. Mereka masih percaya pada individu-individu secara organis akan menjawab tuntutan bersama untuk memukul secara 'bertenaga' ke jantung kekuatan penguasa. Hanya persatuan yang kuatlah -sebuah kesatuan yang berfusi dengan praktek demokratik (kami menyebutnya sentralisme demokratik) - yang bisa mengarahkan perjuangan kepada tahap-tahap yang lebih maju. Kedua, apakah secara hakekat ada kebebasan di masa kekuasaan modal seperti sekarang ini? Tak ada. Kehendak seseorang secara individu selalu dibatasi oleh banyak hal, terutama uang. Terdengar aneh jika masih berlaku ingin punya kebebasan pada masa sekarang. Ekonomilah yang membatasi kelas pekerja, karena ekonomilah yang jadi basis material sejarah yang dikuasai pemodal. Jika ilusi "kebebasan organik" juga diterapkan dalam gerakan, apakah kelas pekerja akan mempunyai kekuatan yang teguhdan kuat untuk menghancurkan kekuasaan kelas penguasa? Artinya kita memang ingin menuju kebebasan umat manusia, tetapi dalam praktek gerakan, ada harga yang harus dibayar. Inilah yang tak dimengerti oleh kaum anarkis, termasuk para feminisnya.

Jadi, ada beberapa point sebagai kesimpulan, ada beberapa kritik mendasar yang harus dilontarkan pada berbagai aliran Feminisme di atas:

  1. Secara umum aliran-aliran itu adalah reduksi (pembiasan) dan distorsi (pengacauan) permasalahan yang sebenarnya. Permasalahan perempuan berkaitan dengan adanya kepemilikan pribadi dan kelas-kelas secara sosial di dalam masyarakat, tetapi, Feminisme borjuis memandang persoalan secara septong-sepotong. Inilah yang dilihat dari teori Feminisme liberal atau Posmo.
  2. Aliran-aliran itu juga salah dalam melihat konteks permasalahan, seperti pada Feminisme radikal yang memandang lelaki adalah musuh kaum perempuan atau Feminis Liberal yang melihat permasalahan perempuan pada kesalahan perempuan itu sendiri. Kesalahan dalam melihat permasalahan, akan bersifat kontraproduktif dalam perjuangan.
  3. Aliran-aliran itu memandang perjuangan perempuan secara sektoral dan "separatis" dan tidak ada keseriusan untuk bergabung dengan kekuatan sektor massa lain. Ini terjadi karena mereka berpijak pada kesalahan teoritik yang lebih mencerminkan pada masalah seksisme.
  4. Aliran-aliran itu masih mengilusikan tentang kebebasan individual dan ini menyebabkan pelemahan pada gerakan pembebasan perempuan dan rakyat secara terorganisir
  5. Lebih dari itu; aliran-aliran itu akan dimunculkan sebagai ideologi tanding bagi keberadaan ideologi progresif, yang tujuannya akan memoderasi gerakan dan pada akhirnya, untuk memenangkan ideologi kelas yang sedang berkuasa.

Oleh karena sebab terakhir inilah maka aliran-aliran feminis yang telah dibahas di atas (kecuali feminisme anarkis) hanya berlaku dominan di lapisan menengah dan atas dalam masyarakat - lapisan yang dihuni oleh kelas borjuasi dan antek-anteknya.

Lalu, dengan apa kita harus melihat persoalan ketertindasan perempuan ini?

Kami berpandangan bahwa dalam melihat masalah ketertindasan perempuan, kita harus melihatnya dengan basis analisa kelas*. Apa itu analisa kelas? Secara singkat analisa kelas ialah teori yang mendekatkan akar permaslahan akibat munculnya kelas-kelas di dalam masyarakat. Mengapa penindasan pada bagian terbesar umat manusia terjadi, karena semua berpangkal pada dua kelas yang saling berhadap-hadapan secara tak terdamaikan, yakni kelas pemilik modal dengan kelas tak bermodal (proletar). Apa hubungannya dengan perempuan sebagai suatu golongan sosial? Kelas Kapitalis berkepentingan untuk melakukan penindasan perempuan karena perempuan dipandang sebagai "properti" lelaki, sekaligus tenaga kerja yang murah. Kami akan menjelaskan secara historis pada bagian berikut.

Awal Ketertindasan Perempuan

Pada masa sebelum munculnya kepemilikan pribadi dan kelas-kelas, kedudukan sosial perempuan dan lelaki adalah setara**. Pada masa yang disebut sebagai masa Komunal Primitif, dengan corak masyarakat yang disebut masyarakat pemburu dan pengumpul (hunter-gatherer societies), produksi sosial ditata secara komunal dan hasilnya dibagi rata. Inilah masa bentuk pertanian belum ditemukan. Memang ada pembagian tugas yang berdasarkan umur atau jenis kelamin, tetapi semua orang melebur dalam satu kelompok sosial. Tiada basis material untuk adanya hubungan sosial yang eksploitatif.

Keadaan mulai berubah, ketika cara pertanian mulai ditemukan. Kaum perempuan lah yang sebenarnya mulai menemukan cikal bakal pertanian: mereka yang bertugas mengumpulkan buah-buahan dan biji-bijian melihat bahwa benih dari tanaman yang mati dapat menumbuhkan tanaman lain yang hidup. Cara atau proses ini bisa dilakukan secara sengaja. Ditemukannya teknik pertanian -yang diikuti dengan penemuan cara peternakan- segera mengubah sistem sosial dalam masyarakat. Mulailah muncul keinginan untuk memperoleh dan menyimpan hasil yang sebesar-besarnya. Keinginan itu pada mulanya baru berwujud dalam bentuk kelompok sehingga terbentuklah suku-suku, klan atau marga; tetapi lama kelamaan keinginan tersebut mewujud dalam bentuk individualistik.

Pada masa munculnya suku-suku, manusia menemukan cara untuk memperbesar hasil produksi pangan dengan cara ekstensifikasi, yakni memperbesar jumlah orang yang bekerja di bidang pertanian. Semakin banyak orang yang bekerja, maka akan semakin banyaklah lahan yang bisa dikerjakan, otomatis, semakin besarlah pula hasil yang didapat. Cara apa yang bisa dilakukan untuk memperoleh tenaga kerja yang sebanyak-banyaknya? Caranya ialah, perempuan sebagai kunci reproduksi, digeser perannya sebagai "pemroduksi" anak. Inilah masa sistem sosial yang memaksa perempuan harus tinggal di rumah untuk membesarkan anak.

Lama-kelamaan, sejalan dengan semakin besar hasil yang diproduksi, pola kepemilikan secara suku bergeser menjadi kepemilikan pribadi. Peran perempuan semakin tergeser, ia sekarang menjadi "properti" milik suami dan dijerambabkan ke dalam sistem yang bernama keluarga. Sistem keluarga inilah yang semakin meminggirkan peran perempuan, di mana peran perempuan hanya sebagai penghasil keturunan, pemelihara anak dan melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik (rumah tangga). Mulailah suatu periode di mana ketertindasan perempuan dilembagakan dalam sistem keluarga. Bahkan kata family (keluarga) asal mulanya dari bahasa Latin yakni famulus yang berarti budak dan familia, yang berarti jumlah keseluruhan budak yang dimiliki oleh seorang lelaki.

Pada epos masyarakat berkelas, penguasa menciptakan institusi-institusi dan alat-alat ideologi, seperti negara, militer, hukum bahkan sistem kepercayaan. Hal ini tentunya menjadi sebab logis mengapa kelas pemodal memerlukan penindasan terhadap perempuan baik dalam bentuk diskriminasi atau pemenjaraan peran, karena perempuan dipandang sebagai bagian dari komoditi, juga adalah golongan pekerja yang bisa dieksploitasi secara murah.

Feminisme Sosialis dan Masa Depan Pembebasan Perempuan

Lalu, apa itu Feminisme Sosialis?

Di atas, secara singkat,telah dipaparkan secara historis asal muasal munculnya ketertindasan perempuan. Adanya kepemilikan pribadi dan munculnya kelas-kelaslah -yang dimulai dari ditemukannya pertanian, lalu peternakan- asal mulanya penindasan terhadap perempuan. Lalu perempuan dipinggirkan perannya dalam bentuk keluarga. Ini terus dilanggengkan dari munculnya masa feodalisme hingga kapitalisme. Ideologi patriarkal -yakni pelestarian secara sosial dominasi lelaki dan sebaliknya peminggiran peran dan kedudukan perempuan- terus dihidupkan, karena memang menguntungkan.

Feminisme Sosialis mencoba membongkar akar ketertindasan perempuan dan menawarkan ideologi alternatif yakni: Sosialis. Penindasan terhadap perempuan tidak akan berakhir selama masih terus diterapkannya sistem kapitalisme. Inilah yang dikatakan sebagai peminggiran peran perempuan sebagai bagian dari produk sosial, politik dan ekonomi yang berhubungan dengan keberadaan kapitalisme sebagai suatu sistem. Inilah penindasan yang berakar pada keberadaan kelas-kelas dalam masyarakat. Pada awalnya, Friedrich Engels yang menjelaskan dalam buku klasik The Origin of the Family, Private Property and the State (1884). Keterpurukan perempuan bukan karena perkembangan teknologi, bukan karena perempuan lemah secara mental dan tenaga (sehingga harus dilindungi oleh lelaki), bukan karena sebab-sebab yang lain; tetapi karena munculnya kelas.

Masalah penindasan perempuan tidak beridiri sendiri, tetapi merupakan satu kesatuan dalam sistem yang saling berkaitan Perjuangan pembebasan perempuan hanya berhasil ketika sistem kepemilikan pribadi yang memerlukan secara logis penindasan terhadap perempuan, berhasil dihancurkan dan lalu berhasilnya transformasi sosial masyarakat yang menghancurkan kelas-kelas, dan penguasaan alat-alat produksi pada segelintir orang untuk diserahkan dan dikelola secara sosial. Inilah masyarakat sosialis: suatu masyarakat dimana ideologi patriarkal secara logis tak diperlukan, di mana perbudakan perempuan di dalam keluarga harus dihapuskan, perempuan terlibat dalam proses produksi secara bersama-sama dan memecahkan setiap permasalahan masyarakat secara bersama-sama pula..

Pada prakteknya, perjuangan pembebasan perempuan tak bisa dipisahkan dari perjuangan Sosialisme; karena secara sistematis Kapitalisme dengan alat-alat ideologi dan alat-alat kekerasannya, melakukan penindasan pada semua sektor masyarakat. Kapitalisme secara frontal memerlukan penindasan terhadap pekerja (sehingga seorang buruh perempuan, harus mengalami dua lapis penindasan : baik sebagai buruh, maupun sebagai perempuan) , memerlukan perusakan lingkungan hidup, memerlukan rasisme, memerlukan seni dan hiburan yang membodohkan masyarakat dan memerlukan praktek Neoliberalisme dan Imperialisme sebagai jalan keluar dari krisis yang terus melilitnya. Inilah contoh-contoh yang menjelaskan mengapa perjuangan perempuan harus dilakukan dengan persatuan yang kokoh dengan berbagai sektor masyarakat lain, utamanya dengan kelas pekerja. Perjuangan perempuan tak bisa terpisah secara sektoral dan eksklusif, karena akan melemahkan persatuan kokoh dari masyarakat yang tertindas.

Perjuangan perempuan memang terus mengagendakan masalah-masalah penindasan yang dihadapi perempuan terkini yang selintas terdengar sektoral, seperti masalah gender, kekerasan dan diskriminasi seks, tetapi semua itu dilakukan dengan cara membongkar akar ketertindasan perempuan yakni sistem kapitalisme. Perjuangan perempuan juga harus terlibat aktif dalam gerakan-gerakan yang menjadi permasalahan umat manusia secara umum misal: lingkungan hidup, diskriminasi ras atau Neoliberal.

Secara ringkas bisa dikatakan: perjuangan Sosialisme tak bisa dipisahkan dengan perjuangan pembebasan perempuan dan dengan keteguhan di dalam persatuan masyarakat yang terorganisirlah pembebasan perempuan sejati akan tercapai, yakni ketika masyarakat Sosialis telah tercipta.****

Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan

Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme