Sabtu, 03 Januari 2009

Setelah Masa Kehancuran Itu Berlalu, Saatnya Membangun Kembali Gerakan Perempuan Berideologi Kiri

Setelah Masa Kehancuran Itu Berlalu,

Saatnya Membangun Kembali Gerakan Perempuan Berideologi Kiri


Kehancuran Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), dapat dikatakan merupakan titik balik bagi sepak terjang gerakan perempuan di Indonesia. Sebelum masa kehancuranya, gerakan perempuan Indonesia—khusunya yang berideologi kiri—pada posisi pasangnya, dimana gerakan perempuan telah mampu dikeluarkan dari belenggu yang hanya sekedar memperjuangkan kesetaraan, tetapi telah berhasil didorong menjadi salah satu sektor massa-rakyat untuk menentang sistem ekonomi-politik dunia saat itu. Ketika masih dalam masa kejayaanya, gerakan perempuan Indonesia ada beberada bersama-sama kaum tani yang menuntut pembagian tanah yang dikuasi setan-setan desa dan kota, gerakan perempun juga bersama-sama kaum buruh menuntut nasionalisasi aset-aset imperialis Belanda yang ada di Indonesia, gerakan perempuan juga aktif menjadi sukarelawan-sukarelawan untuk mengusir imperialis Inggris dari Kalimantan Utara dan imperialis Belanda di Papua Barat.

Namun, setelah masa pasang diatas, kemudian disusul dengan masa surut yang berlangsung cukup lama. Setelah naiknya Soeharto—yang merupakan kolaborasi kapitalis bersenjata/tentara, borjuasi kanan, dan kapitalis internasional—yang berhasil memporakporandakan borjuasi yang berada di sekitar Soekarno—yang sebagian besar adalah borjuasi yang dulunya kaum priyanyi—dan sekaligus juga ikut menyapu gerakan kiri/PKI, luka yang diderita gerakan perempuan Indonesia memang cukup parah. Yang lebih menyanyat, kehancuranya tidak hanya secara organisasi—dilarangnya Gerwani dan gerakan perempuan yang dianggap seideologi-- tapi juga kehancuran secara ideologi dan politik gerakan perempuan itu sendiri—disamping ribuan anggota Gerwani yang dibantai untuk menjadi tumbal kekuasaan Orde Baru. Kehancuran secara ideologi, politik dan organisasi inilah, menyebabkan luka yang begitu mendalam bagi gerakan perempuan Indonesia, sehingga untuk ‘menyembuhkanya’ membutuhkan waktu yang begitu panjang, untuk membangunya kembali membutuhkan kesabaran yang luar biasa, harus sesabar sorang ibu yang mengandung janin sampai merawatnya hingga tumbuh menjadi anak dewasa.

Membutuhkan waktu hampir lima belas tahun untuk kembali membangun gerakan perempuan Indonesia. Angin sepoi-sepoi itu berhembus tahun 80-an—setelah gerakan mahasiswa ’78 dipatahkan dengan NKK/BKK, dan banyak mantan aktivis-aktivisnya yang lari keluar negeri, setelah mereka balik, membawa ide-ide kiri baru yang sedang mewabah di dunia utara sana—ide-ide kiri barulah yang memberikan energi baru bagi tumbunya gerakan demokratik di Indonesia—termasuk gerakan perempuannya. Memang pertumbuhanya memang lambat karena ideologi kiri baru yang menjadi ‘kompas’nya juga setengah-tengah, sehingga yang lahir bukan gerakan-gerakan perempuan seperti pada masa sebelum kehancuran, tetapi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang lebih banyak berebut ceceran dana dari imperialis untuk meredam radikalisasi gerakan demokratik di Indonesia. Sehingga, bantuan yang dapat mereka berikan kepada pembangunan gerakan perempuan di Indonesia, hanya memberikan wacana—walaupun hal ini juga tangung-tangung, setengah-tengah, parsial. Kelahirnya sudah cacat sejak dalam janin, sehingga tumbuhnyapun juga tidak sempurna. Sampai saat ini pun persoalan yang mereka bawa masih berputar-putar pada masalah kesetaraan gender, hak-hak politik, dan seambrek-ambrek masalah pingiran lainnya, tidak pernah menyentuh masalah esensial dari persoalan perempuan itu sendiri. Program-program yang ditampilkan pun merupakan program-program yang karikatif, dari work shop satu ke work shop lainya, dari ruang seminar di hotel yang satu ke tempat seminar yang lain. Secara garis besar, kelemahan dari gerakan perempuan yang muncul dari periode 80-an, yang sampai saat ini masih berkembang adalah: Pertama, menghasilkan gerakan yang sektarian. Gerakan-gerakan dari program sampai strategi taktik hanya berpusar-pusar pada persoalan perempuan sendiri. Konsep ‘kaca mata kuda’ inilah yang menyebabkan gerakan perempuan tidak berkembang dengan pesat karena terasing dari arus perkembangan situasi yang ada. Sikap sektarian ini juga menyebabkan gerakan perempuan terasing dari gerakan-gerakan sektor yang lain, tidak ambil pusing terhadap ketertindasan sektor lain. Kedua, lemah dalam pengorganisiran. Akibat lemahnya pengorganisiran ini menyebabkan gerakan perempuan tidak mempunyai basis massa. Yang berkembang selanjutnya, ide-ide tentang perjuangan kaum perempuan untuk melepaskan diri dari belenggu penindasan hanya dimonopoli oleh kalangan-kalangan tertentu dalam masyarakat, yang itu pun jumlahnya sangat tidak signifikan dibanding jumplah secara keseluruhan dari kaum perempuan itu sendiri---hanya mereka yang mempunyai akses-akses terhadap modal sehingga bisa mendapatkan informasi (melalui bangku kuliah, buku, seminar, dll) yang memonopoli kesadaran tentang perjuangan kaum perempuan, yaitu kalangan kelas menengah ke atas. Ketiga, penyebab kedua kelemahan di atas adalah keleman dalam hal ideologi. Sejak kehancuran Gerwani, idekogi gerakan perempuan di Indonesia yang dominan berkembang adalah ideologi gerakan perempuan liberal—yang menuntut kesetaraan antara laki-laki dan perempuan—dan ideologi gerakan perempuan radikal—yang berpandangan kaum laki-laki adalah musuh kaum perempuan yang menyebabkan kaum perempuan tertindas. Kedua ideologi tersebut tidak memberikan basis analisa yang menyeluruh dalam mengupas persoalan perempuan—tetapi malah lebih banyak memberikan landasan yang keliru bagi perjuangan gerakan perempuan. Kelemahan ini kemudian berimbas pada strategi, taktik sampai program yang diperjuangan oleh gerakan itu sendiri.

Mencari Akar Penindasan

Sebelum kita merumuskan bagimana konsep gerakan perempuan yang sesuai untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul saat ini, akar terhadap penindasan terhadap kaum perempuan haruslah dicari dahulu. Mengapa? Karena hal ini akan menjadi landasan untuk merumuskan format gerakan perempuan. Dalam pemikiran marxist terdapat logika bahwa sistem ekonomi merupakan dasar dalam kehidupan manusia, oleh karenanya manusia mempunyai eksitensi ketika melakukan kerja untuk bisa mempertahankan kelangsungan hidupnya—ini didasarkan pada kenyataan bahwa kebutuhan dasar manusia adalah untuk mempertahankan kelangsungan hidup, untuk memenuhi kebutuhan primer maupun sekunder. Atas dasar inilah peradaban umat manusia dibangun di atas dunia ini—dari usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya—yang kemudian cara manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidup ini akan menghasilkan hubungan-bungan produksi dalam masyarakat, yang selanjutnya akan menentukan struktur ekonomi masyarakat, yakni fondasi (basis) bagi perkembangan peradaban umat manusia—yang kemudian dikenal dengan corak produksi. Engels, dalam pengantar edisi pertama The Origin of the Family, Private Property and the State yang muncul di Zurich pada tahun 1884, menyatakan: “Menurut konsep materialistik, faktor penentu dalam sejarah pada akhirnya adalah produksi dan reproduksi kebutuhan hidup. Keduanya memiliki karakter ganda. Pada satu sisi, karakteristik produksi ditujukan untuk membangun sarana subsistensi dengan pangan, sandang, dan papan sebagaimana alat-alat yang diperlukan untuk produksi tersebut. Sementara, disisi lain karakter produksi dilekatkan pada produksi umat manusia itu sendiri, perkembangbiakan spesies. Institusi sosial yang dimiliki oleh masyarakat pada jaman tertentu dan negara tertentu, ditentukan oleh dua bentuk produksi: yaitu melalui tahap perkembangan tenaga kerja di satu sisi, dan melalui tahap perkembangan keluarga di sisi yang lainnya”.

Di atas, fondasi sejati tersebut—corak produksinya—berdiri suprastruktur-- Politik, hukum, etika, agama,budaya,Negara, dll. Dengan logika ini, perubahan supra struktur merupakan akibat dari perubahan dalam sistem ekonominya. Perubahan dalam sistem ekonomi sendiri terjadi tatkala hubungan produksi pada masa tertentu dari sistem ekonomi tertentu tidak mampu mewadai perkembangan kekuatan produksi (manusia, modal, bahan mentah, alat produksi) pada masa sistem ekenomi tertentu. Maka ketika sistem ekonominya berubah, secara langsung akan mempengaruhi perubahan suprastrukturnya. Marx dan Engels dalam pengantar A Contibution to the Critique of Political Economy, menyatakan: “Pada tahap tertentu perkembangannya, tenaga-tenaga produktif material masyarakat akan bertentangan dengan hubungan-hubungan produksi yang ada, atau akan bertentangan dengan hubungan-hubungan kepemilikan – apa yang secara legal/hukum merupakan istilah lain dari hubungan-hubungan produksi – yang sedang mereka jalani. Dalam bentuk-bentuk perkembangan tenaga-tenaga produktif tertentu, hubungan-hubungan kepemilikan tersebut kemudian berubah menjadi belenggu mereka. Setelah itu, datanglah epik revolusi sosial. Bila ada perubahan dalam fondasi ekonomi maka, secara besar-besaran, seluruh suprastruktur sedikit banyak akan pula ditransformasikan secara cepat”. Sebagai contoh agar memperoleh kejelasan dalam hal ini, penulis mengambil contoh perubahan dari masyarakat feodalisme menuju masyarakat kapitalisme, pada masa feodalisme terjadi perkembangan dari tenaga produktif (sifat tenaga produktif selalu aktif) sehingga hubungan produksi pada masa feodalisme tidak mampu mewadainya lagi, akibatnya terjadilah revolusi (Contoh:Revolusi Prancis) sehingga hubungan produksi yang sudah usang (hubungan produksi feodalisme) digantikan hubungan produksi kapitalisme. Perubahan sistem ekonami ini—dari sistem ekonomi feodalisme menjadi sistem ekonomi kapitalisme—secara langsung akan mempengaruhi sistem politiknya, sistim hukumnya, sistem etikanya, budaya, kepercayaan dan supara struktur yang lain.

Agar pemahaman kita tentang analisa ekonomi-politik Marxist lengkap, untuk sekilas kita perlu menengok tentang esensi negara itu sendiri—karena negera inilah yang dijadikan bungkus dari kelas yang berkuasa untuk melekukan penindasan. Negara merupakan produk sosial dari masyarakat sosial itu sendiri, yang keberadaanya menandakan adanya pertentangan-pertentangan kelas dalam masyarakat. Esensinya, seperti yang ditulis Marx bahwa negara adalah organ kekuasaan kelas, organ penindas dari satu kelas terhadap kelas yang lain. Dalam masyarakat kapitalisme seperti saat ini, negara jelas merupakan organ kelas borjuasi—esekutif, legeslatif, yudikatif, angkatan bersenjata dan lembaga-lembaga yang lain—semuanya dibentuk untuk kepentingan kelas borjuasi. Sekaligus negara dalam masyarakar kapitalis juga digunakan untuk menindas kelas proletariat dengan segala lembaganya—baik birokrasi maupun militernya. Engels dalam Anti Duhring sebagai mana dikutip Lenin dalam Negara dan Revolusi, menjelaskan sebagai berikut: “Negara adalah wakil resmi seluruh masyarakat dan pemusatan masyarakat dalam lembaga yang tampak, tetapi negara menjadi demikian hanya selama ia merupakan negara dari kelas yang sendirian pada zamannya mewakili seluruh masyarakat; pada jaman kuno ia adalah negara dari warga negara pemilik budak, pada zaman tengah ia negara dari bangsawan feodal, pada zaman kita ia negara dari borjuasi”.

Dengan analisa di atas, kita dapat mencari jejak sebab-sebab perempuan terindas. Dari perubahan corak produksi lama yang kemudian digantikan oleh corak produksi –dalam konsep marxisme dikenal perubahan corak produksi dari komune primitif menjadi perbudakan/Asiatic

Feodalisme kapitalisme sosialisme/komunisme—yang mana setiap perubahan dari corak produksi yang satu ke corak produksi yang lain disertai penguasaan alat-alat produksi oleh kelas yang berkuasa. Pada masa komune primitif belum ada penguasaan alat produksi oleh sekelompok masyarakat tertentu—alat produksi masih dimiliki secara kolektif—dengan demikian kelas-kelas sosial belum ada. Dalam masa ini peranan perempuan dapat dikatan lebih dominan daripada laki-laki karena perempuanlah yang mengolah hasil produksi yang dihasilkan—mengolah hewan hasil buruan, membuat perkakas dari tembikar, dll. Akan tetapi seiring dengan hukum ekonomi bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas, sedangkan bahan yang ada terbatas dan populasi uamat manusia semakin bertambah, mulailah terjadi perebutan sasaran produksi—bahan mentah/sumber daya alam — dan alat produksi—tombak, kapak, tanah, dll. Inilah yang kemudian mendorong perubahan corak produksi dari komune primitif menjadi perbudakan/ mengikuti tipe asiatic—yang juga awal terbentuknya kelas-kelas sosial dalam masyarakat karena dikuasainya alat produksi oleh segelintir masyarakat atas masyarakat yang lain, yang juga memunculkan penindasan manusia atas manusia. Dengan adanya kelas-kelas sosial ini—yang terdiri dari kelas yang menindas dan yang ditindas, yang sekaligus memunculkan intutusi yang saat ini kita kenal sebagai keluarga—sebetulnya bukan hanya kaum perempuan yang tertindas, melainkan juga kaum laki-laki yang masuk dalam kelas tertindas. Akan tetapi, karena dalam tranformasi antara masyarakat komune primitif menjadi masyarakat perbudakan/asiatic, posisi kaum perempuan semakin terdomestifikasi—mengurusi urusan-urusan seputar rumah, yang dianggap kurang berarti dalam hubungan produksi masyarakat berkelas—posisi kaum perempuan selain tertindas oleh sistem ekonomi yang membelengunya sekaligus juga dalam posisi tersubordinasi oleh kaum laki-laki—posisi tersubordinasinya kaum perempuan inilah yang kemudian dijadikan landasan bagi gerakan feminis yang beraliran radikal, tanpa melihat penguasaan alat produksi yang kemudian menyeybabkan munculnya kelas-kelas sosial, sehingga mereka kemudian menyimpulkan bahwa penyebab penindasan adalah kaum laki-laki. Jadi, dari uraian di atas dapat tersimpulkan bahwa penyebab penindasan terhadap kaum perempuan adalah penguasaan alat produksi oleh sekelompok masyarakat tertentu terhadap sekelompok masyarakat yang lain, yang kemudian memunculkan kelas-kelas sosial.

Dalam Konteks Indonesia Saat Ini

Sekarang kita kembali ke konteks gerakan perempuan Indonesia. Setelah memperoleh landasan dari urain di atas tentang akar penindasan, barulah kita dapat menyusun format gerakan perempuan di Indonesia. Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa akar penindasan terhadap kaum perempuan adalah penguasaan alat produksi yang kemudian memunculkan kelas-kelas sosial. Dalam konteks corak produksi masyarakat Indonesia saat ini adalah corak produksi kapitalisme, tetapi yang perlu digaris bahawahi, bahwa kapitalisme yang berkembang di Indonesia berbeda dengan kapitalisme yang berkembang di Eropa. Kapitalisme di Indonesia adalah kapitalisme cangkokan, yang berkembang bukan karena perjuangan kaum borjuasi Indonesia yang merobohkan feodalisme, tetapi dicangkokkan oleh kapitalis Belanda. Tidak seperti yang terjadi di Prancis ketika borjuasi negara tersebut menggilas kekuasaan tuan-tuan feodal dengan Revolusi Prancis yang maha dasyat itu, borjuasi Indonesia tidak melakukan apapun untuk kemajuan sejarah negerinya. Borjuasi Prancis dengan cucuran darah dan keringat merebut kekuasaan dari tangan feodalisme yang telah usang, melucuti kaum bangsawan dari privasi-privasinya , menegakkan sistem baru yang lebih manusiawi, tapi borjuasi Indonesia yang lahir dari persetubuhan antara kolonialisme dan feodalisme, malah tumbuh menjadi parasit baru ditengkuk rakyat Indonesia yang dijajah oleh imperialisme Belanda. Mereka tidak menghancurkan feodalisme, tetapi malah mempertahankanya dan juga tidak mengusir bangsa yang telah menjajahnya, tetapi malah bekerjasama menghisap rakyat sehingga hanya tersisa tulang belulang kesengsaraan. Sehingga dapat dikatakan, bahwa kapitalisme yang muncul di Indonesia tidak menghancurkan feodalisme, tetapi malah memeliharanya untuk memperlancar penindasan yang dilakukan oleh imperialisme di Indonesia. Akibat dari perkembangan corak produksi kapitalisme seperti ini ada dua hal: Pertama, akibat tidak dipukul hancurnya feoadalisme ini, sisa-sisa kebudayaan feodalisme—salah satu bentuknya sistem patriaki—masih melekat kuat dikepala masyarakat Indonesia. Yang terjadi selanjutnya, walaupun corak produksinya kapitalisme, tetapi isi sel-sel otaknya masih dipenuhi risidu-risidu cara berfikir feoadal, sehingga cara berfikir feoadal yang masih usang masih mendominasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Inilah yang kemudian menghambat kemajuan masyarakat Indonesia karena unsur-unsur usang masih digunakan, dan salah satunya adalah cara berfikir tentang posisi kaum perempuan—yang masih dianggap manusia nomer dua. Kedua, tidak tumbuh borjuasi yang tangguh di Indonesia. Dari sejarahnya, borjuasi yang lahir di Indonesia adalah borjuasi yang lahir karena belas kasihan imperialis Belanda, yang dalam perkembangan selanjutnya, posisi mereka diambil alih oleh tentara—sejak kegagalan menguasai aset-aset hasil nasionalisasi milik Belanda—sehingga mereka hanya menerima ceceran dari borjuasi bersenjata—sejak borjuasi bersenjata tahun Oktober 1965 setelah bergandengan tangan dengan borjuasi internasional (Amerika, Inggris dan sekutu-sekutunya). Dengan posisi yang rapuh seperti saat ini, mereka sangat tergantung kepada kapitalis internasional dan kekuatan bersenjata. Akibat selanjutnya, seperti yang kita saksikan saat ini, setelah paska tergulingnya kediktoran Soeharto, gelombang revolusi demokratik yang sudah bergulir sejak tahun 1998 malah mengalami arus balik—ruang demokrasi semakin menyempit, kehidupan ekonomi semakin porak-poranda, tergantungan terhadap modal asing semakin menjadi-jadi.

Pada masa rejim Mega-Haz ini, ada problem yang cukup krusial yang dihadapi oleh bangsa Indoensia. Sisa-sisa OrBa, Reformis Gadungan, Tentara dan kapitalis internasional, semuanya ini menjadi pilar-pilar dari kekuasaan Mega-Haz ini. Bagi kapitalis internasional, Megawati adalah nyonya yang sangat patuh kepada mereka, sehingga segala kehendak dari tuan-tuan modal asing ini pasti akan dilaksanakan—mualai dari privatisasi (mengobrol aset-aset milik bangsa) sampai pemotongan subsidi (semua yang tercantum dalam LOI), pasti akan dilaksanakan. Pemerintahan Mega-Haz tidak perduli lagi terhadap nasib yang didirita rakyat akibat kebijaksanaan-kebijaksanaan yang mereka ambil, yang penting bagi mereka adalah memuaskan nafsu dari tuan-tuan pemilik modal. Dalam hal demokratisasi, selama pemerinatahan Mega-Haz semakin lama semakin menutup ruang demokrasi yang telah diperjuangan mahasiswa-rakyat paska pengulingan Soeharto. Setiap protes-protes rakyat selalu dijawab dengan represi, penangkapan dan bahkan mengunakan preman-preman banyaran. Apalagi dalam situasi seperti saat ini, tatkala sogokan-sogokan yang diberikan oleh rejim Mega-Haz tidak mampu meredam radikalisasi massa, mereka semakin kalang-kabut. Sehingga mempertahankan kekuasaan seperti ini tentu akan menjadi noda sejarah bagi proses kemajuan bangsa Indonesia.

Sementara itu, ditingkat kesadaran massa-rakyat pada masa rejim Mega-Haz terdapat kemajuan yang cukup signifikan. Kalau kita perhatikan, ketika pada masa akhir kekuasaan Soeharto, yang muncul adalah kesadaran anti kediktoran. Sehingga seluruh energi massa-rakyat yang berlawan, bermuara untuk mengulingkan simbul kediktoran tersebut—tuntutan yang meluas ketika itu adalah Turunkan Soeharto. Setelah Soeharto tumbang sampai munculnya masa pemerintahan Gus Dur, yang tumbuh meluas adalah kesadaran anti sisa-sisa Orde Baru. Sebagai manisfestasinya, kantor-kantor Golkar dibeberapa tempat dihancurkan, meluas tuntutan untuk membubarkan Golkar. Saat ini, kesadaran massa-rakyat menunjukkan kemajuanya, kesadaran yang tumbuh adalah kesadaran orang-orang miskin melawan orang-orang kaya yang menguasai modal. Tidak buruh, tani, mahasiswa, kmk, semua muara perlawannya adalah melawan pemilik-pemilik modal, melawan kekuasaan yang memihak kelompok yang mempunyai modal. Dapat dikatakan, kesadaran yang muncul adalah kesadaran kelas, antara pemilik modal yang menindas melawan kaum yang tidak memiliki modal yang diposisikan sebagai kelas yang ditindas. Situasi ini yang berkembang saat ini adalah lahan yang subur untuk merobohkan borjuasi nasional yang sekarat, apalagi ditambah adanya krisis kapitalisme internasional yang semakin meluas. Sehingga, sekali pukul akan menghancurkan dua kekuatan musuh utama rakyat miskin, rejim borjuasi nasional dan kapitalis internasional.

Lalu, dalam posisi seperti saat ini, dimanakah posisi gerakan perempuan harus berada?

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Saya Ibu Hannah Boss, A pemberi pinjaman uang, saya meminjamkan uang kepada individu atau perusahaan yang ingin mendirikan sebuah bisnis yang menguntungkan, yang menjadi periode utang lama dan ingin membayar. Kami memberikan segala jenis pinjaman Anda dapat pernah memikirkan, Kami adalah ke kedua pinjaman pribadi dan Pemerintah, dengan tingkat suku bunga kredit yang terjangkau sangat. Hubungi kami sekarang dengan alamat email panas kami: (hannahbossloanfirm@gmail.com) Kebahagiaan Anda adalah perhatian kami.