Jumat, 26 Desember 2008

GERMINAL dan GERWANI

GERMINAL dan GERWANI

Jurnal Perempuan,

(Adakah hubungan antara karya Emile Zola dengan Tragedi 1965 ?)


Germinal pertama kali ditulis oleh Emile Zola tahun 1884 [
1] . Baru tahun 2002 roman tersebut diterbitkan di Yogyakarta melalui penerjemahan langsung dari bahasa Perancis [2] . Sebelumnya tahun 1960-an memang sudah beredar saduran dari bahasa dari bahasa Inggris [3] .

Roman ini menggambarkan protes terhadap kondisi kerja yang sangat tidak manusiawi yang terjadi di pabrik dan pertambangan Eropa abad ke-19. Kisahnya terjadi di sebuah pertambangan batubara. Digambarkan pertentangan antar kelas buruh dengan majikan (di dalam kelompok ini selain pemilik tambang juga para mandor serta rentenir seperti tokoh Maigrat). Kemiskinan yang dialami dan penindasan dari pihak borjuis menyebabkan pekerja tambang itu melawan.

Adegan paling keras termuat pada bagian V bab 6 yang menceritakan tentang Maigrat yang terjatuh dari rumahnya dan sudah tak bernyawa. Tetapi para perempuan tambang itu melampiaskannya kemarahannya dengan sadis. Seorang di antaranya menyumpalkan roti ke mulut mayat yang tidak bernyawa itu. Tiba-tiba salah seorang dari perempuan itu, membuka pakaian Maigrat dan menaruh tangannya di antara kedua paha lelaki itu. Ia berusaha menarik sekuatnya dan akhirnya mendapatkan potongan daging yang berbulu dan penuh darah ( velue et sanglante ). “Aku dapat, aku mendapatkannya”, katanya dengan bangga sambil memperlihatkannya kepada orang ramai.” Perempuan lain menukas, “ia tak dapat lagi mencabuli anak-anak gadis kita”.

Bagian di atas diterjemahkan secara tidak tepat seperti terlihat di bawah ini:

Déjà, la Mouquette le déculottait, tirait le pantalon, tandis que la Levaque soulevait les jambes. Et la Brûlé, de ses mains sèches de veille, écarta les cuisses nues, empoigna cette virilité morte. Elle tenait tout, arrachant, dans un effort qui tendait sa maigre échine et faisait craquer ses grands bras. Les peaux molles résistaient, elle dut s'y reprendre, elle finit par emporter le lambeau, un paquet de chair velue et sanglante, qu'elle agita, avec un rire de triomphe:

-- Je l'ai ! je l'ai ! Des voix aiguës saluèrent d'imprécations l'abominable trophée. --Ah ! bougre, tu n'empliras plus nos filles !
(hal 362 )

Tanpa terduga, la Mouquette menanggalkan pakaian yang melekat di jasad Maigrat; ia menarik celananya sedangkan la Levaque memegangi bagian pahanya. Dan la Brule dengan tangannya yang sudah keriput meregangkan kedua paha telanjang itu dengan cengkraman yang sangat menusuk. Secara tiba-tiba ia mematahkan kedua tangan itu dengan sekuat tenaga. Kulit yang tercabik terlihat pucat dan berbulu dan dilumuri darah. Ia mengakhiri semuanya dengan membawa cabikan-cabikan dan potongan tangan Maigrat yang ia tunjukkan dengan bangga.

Aku dapat ! Aku dapat !

Suara sorak sorai kemenangan menggema. “Sekarang ia tak bisa apa-apa!”
(hal 335-336)

Penerjemahan tersebut mengandung berbagai kekeliruan, di antaranya, yang dipatahkan oleh perempuan itu bukanlah kedua tangan Maigrat.

Pengebirian

Tahun 1994 muncul film Germinal yang dibuat berdasarkan roman ini dengan sutradara Claude Berri. Dalam film ini tergambar kontras yang tajam, tidak ada daerah abu-abu. Yang ada cuma, baik atau buruk, kaya atau miskin, siang atau malam, pekerja atau majikan, kapitalisme atau serikat buruh. Yang menarik dari resensi yang ditulis oleh Steve Rhodes dalam all-reviews.com bahwa di dalam film ini ditemui adegan horor yang tidak diperlukan termasuk salah satunya pengebirian ( castration ) yang menurutnya harus diedit. Kenapa harus dibuang adegan itu ?

Justeru adegan itu yang mengilhami perusak sejarah di Indonesia untuk melukiskan citra buruk sekelompok perempuan militan. Yang jadi korban itu adalah perempuan dari kelompok kiri yang telah dihujat selama 30 tahun ini sebagai "tidak bermoral". "Tanggal 30 September 1965 malam, mereka menari-nari tanpa busana di daerah Lubang Buaya, kemudian menyiksa para Jenderal, menyayat kemaluan para perwira itu dan memasukkan ke dalam mulut mereka" [4] . Itulah lukisan yang diberikan dalam buku-buku sejarah di Indonesia dan juga ada di dinding-dinding yang dingin di berbagai monumen historis.

Setelah Orba Baru berakhir, sejarah kembali diluruskan [5] . Ternyata bahwa foto tentang wanita tanpa busana yang dijadikan bukti adalah hasil pemaksaan terhadap perempuan yang ikut latihan sebagai sukarelawati Dwikora (ganyang Malaysia) di Lubang Buaya. Mereka ditangkap, dipukuli, diinterogasi lalu dipaksa membuka pakaian dan menari-nari telanjang di depan tentara, sementara yang lain mengambil foto. Lalu foto-foto itu disiarkan. Bukan hanya itu. Pelacur Emmy yang berasal dari Senen ditangkap dan disuruh mengaku sebagai Ketua Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) Cabang Jakarta yang ikut dalam penyiksaan kelamin di Lubang Buaya. Ternyata seperti ditulis Ben Anderson dalam majalah Indonesia terbitan Cornell, berdasarkan visum et repertum dokter tidak ada perusakan kemaluan itu. [6] Bahkan sebetulnya jauh lebih awal, Presiden Sukarno dalam pidatonya menyambut Hari Ibu di Istana Negara, Jakarta, 22 Desember 1965 mengatakan bahwa tidak benar 100 silet dibagi-bagikan di Lubang Buaya untuk menyilet kemaluan para Jenderal [7] . Sayang sekali pidato Sukarno yang waktu itu masih menjadi Presiden RI yang sah tidak bisa dikutip dan disiarkan oleh media massa.

Pers militer ( Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha ) ketika itu --sebagaimana diungkapkan oleh Stanley dalam seminar MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) di Serpong, September 1999, berperan penting dalam menyebarkan informasi yang menyesatkan itu.

Wanita Indonesia yang ada dalam buku sejarah dan dinding monumen historis tampaknya hanya fiksi belaka, khayalan dari pihak keamanan yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Gambaran tentang kebejatan moral wanita tersebut membangkitkan kemarahan rakyat yang akhirnya menjadi salah satu pendorong mereka melakukan pembantaian, pembunuhan massal yang terbesar dalam sejarah Indonesia yang memakan korban paling sedikit setengah juta jiwa.

Saya mendapat informasi dari seorang pengurus Gerwani bahwa tahun 1960-an memang sudah beredar buku Germinal yang cukup populer. Ia mengatakan bahwa ide penyiletan kemaluan para Jenderal itu ditengarai berasal dari buku karya Emile Zola ini. Pernyataan itu tentu perlu diteliti lebih lanjut. Bila itu benar, dari siapa ide tersebut. Dari seorang seniman kiri Indonesia yang mengungsi ke negeri Belanda semasa Orde Baru saya memperoleh nama sejarawan NN dan budayawan Manikebu WS. Sementara dari sumber lain, mungkin pula ide itu dari seorang perwira yaitu Brigjen S. Sekali lagi, semuanya itu perlu penelitian yang lebih mendalam (dapat ditambahkan bahwa kini ketiga orang tersebut sudah meninggal).

Jika benar bahwa kisah yang direkayasa dan dimuat oleh pers militer itu berasal dari sebuah buku, maka kita dapat mengatakan betapa besar dan dahsyat pengaruh sebuah karya sastra. Sebuah roman yang ditulis oleh orang asing nun jauh di sana telah menjadi salah satu pemicu yang mendorong ke arah hancurnya Gerwani dan ditumpas habisnya pengikut PKI serta tewasnya ½ juta penduduk.

(Asvi Warman Adam, peneliti LIPI)

[1] Edisi yang ada pada saya adalah terbitan tahun 1968 dengan kata pengantar dari Henri Guillemin, Paris: Garnier-Flammarion.

[2] Emile Zola, Germinal (diterjemahkan dari bahasa Perancis oleh Christina Dwiana Astuti dkk), Yogyakarta, Jendela, 2002.

[3] Seingat saya judul buku saduran tersebut adalah Tambang .

[4] Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai: G30S-PKI dan Peran Bung Karno, Jakarta: Intermasa, 1988, hal 247.

Adegan pemotongan kemaluan ini sebetulnya juga dikenal di Nusantara seperti cerita di Bali yang dikutip oleh Henk Schulte Nordholt, Kriminilitas, Modernitas dan Identitas dalam Sejarah Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hal 37) sebagai berikut:

Pangeran Panji, putra sulung Raja Agung dari Mengwi tiba-tiba menghadapi pemberontakan bangsawan-bangsawan yang berkhianat, ketika ayahnya sedang berkampanye di Jawa Timur (karena penguasa-penguasa yang kuat harus senantiasa bergerak). Menurut laporan VOC dan Babad Bali dan informasi dari tempat keramat di kuil-kuil, Panji meninggal pada tahun 1713 dalam pertempuran sengit bersama 200-300 pengikutnya. Tradisi local mengisahkan bahwa sebagai penyelesaiannya, musuh yang menang itu memotong alat kelamin Panji dan kemudian membawanya berkeliling antara dua buah batu.

Setelah itu baru kekuasaan Panji sirna”.

[5] Lihat Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia , Jakarta: Garba Budaya dan Kalyanamitra, 1999 dan Stanley “Penggambaran Gerwani sebagai Kumpulan Pembunuh dan Setan” dalam jurnal Sejarah no 9, 2002, Jakarta: Masyarakat Sejarawan Indonesia.

[6] Ben Anderson, “How Did the General Die” dalam Indonesia , no 43, April 1987. Hasil otopsi dapat diliihat pada lampiran buku M.R.Siregar, Tragedi Manusia dan Kemanusiaan: Kasus Indonesia,Sebuah Holokaus Yang Diterima Sesudah Perang Dunia Kedua, Amsterdam: Penerbit Tapol, 1995 (cetakan kedua).

[7] Naskah itu terdapat dalam Budi Setiyono dan Bonnie Triyana (eds), “Akhir Revolusi: Kumpulan Pidato Soekarno 1965-1967 ”, Semarang, Mesiass, 2003.


Tidak ada komentar: