Jumat, 26 Desember 2008

Menyingkirkan Perempuan ( I )

Menyingkirkan Perempuan ( I )

Pendahuluan

Sejak Frederick Engels menulis “The Origin of the Family, Private Property and the State” pada tahun 1884, telah banyak data yang dikumpulkan oleh para arkeolog dan para antropolog yang membenarkan ide bahwa komunitas manusia pada awalnya tak terbagi-bagi ke dalam kelas-kelas sosial dan, secara jender, egalitarian.

Engels memberikan suatu analisa tentang bagaimana hubungan-hubungan sosial bisa berubah, diputarbalikan, akibat adanya perubahan radikal dalam tenaga produktif manusia―saat muncul kegiatan peternakan. Menurut Engels, pada zaman pra-sejarah, ditemukannya cara-cara beternak hewan oleh komunitas kesukuan bisa meningkatkan kemakmuran mereka, yang sebelumnya tak pernah mereka nikmati. Namun, kemakmuran tersebut justru, malahan, sekadar meningkatkan status sosial kaum lelaki, dan kaum perempuan menjadi korbannya―itu karena kaum lelaki lah yang menjalankan dan menguasai kegiatan peternakan tersebut. Sumbangan kaum lelaki terhadap kesejahteraan komunitas kesukuan tersebut malahan menyebabkan kaum perempuan tersingkir dari produksi sosial, digantikan dengan tugas-tugas perempuan tradisional―menyiapkan makanan dan mengerjakan kerajinan tangan yang, sebenarnya, merupakan jasa-jasa perumahan individual.

Namun demikian, Engels sendiri mengakui bahwa ia, yang hanya memberikan bukti-bukti yang tersedia pada saat itu saja, tak sanggup menjelaskan mengapa kegiatan peternakan, yang sebelumnya dimiliki bersama oleh komunitas kesukuan, berubah menjadi milik kaum lelaki secara individual.

Tulisan ini mencoba memberikan suatu sumbangan untuk menjawab pertanyaan tersebut; tulisan ini berusaha menyelidiki bukti-bukti ilmiah baru yang akan mengisi beberapa kesenjangan (dalam pemahaman kita) tentang bagaimana proses produksi dan hubungan-hubungan produksi berubah sejalan dengan perkembangan dalam kegiatan pertanian (yang menggunakan bajak); dan tulisan ini akan memberikan garis besar tentang: bahwa peningkatan produkstivitas pertanian (yang menggunakan bajak) lebih besar ketimbang peningkatan produkstivitas holtikultura; bahwa kaum lelaki menurun minatnya terhadap kegiatan berburu; fakta yang mengungkapkan bahwa, memang, proses membajak merupakan kerja yang lebih individual dan lebih berat ketimbang holtikultura; bahwa terdapat kesulitan untuk mengkombinasikan kerja individual tersebut dengan kegiatan memelihara bayi; dan, bahwa perdagangan makanan dan produk-produk ternak peliharaan (dengan basis kuantitas yang lebih besar dan beragam) sekarang bisa dilaksanakan dan semakin berkembang; semuanya itu memberikan sumbangan yang menyebabkan kaum perempuan diisolasi dalam pekerjaan-pekerjaan rumah tangga sehingga, kemudian, tak memiliki kekuasaaan terhadap produksi makanan-utama―yang, sebenarnya, merupakan landasan bagi terciptanya status dan kekuasaan yang sama antara kaum lelaki dan kaum perempuan di dalam masayarakat sebelumnya.

Dalam tahap perkembangan sosial yang penting seperti sekarang ini, bukti-bukti paling akhir yang, sebenarnya, ditujukan untuk mengisi beberapa kesenjangan dalam penjelasan Engels dan kaum Marxis lainnya, justru membenarkan penjelasan kaum Marxis: bahwa, dalam masyarakat yang berkelas, terdapat hubungan antara perkembangan pemilikikan pribadi dengan penindasan terhadap kaum perempuan. Karena itu, tulisan ini sangat lah penting bagi mereka yang sedang berjuang untuk memblejeti kesalahkaprahan pemahaman kaum determinis-biologis tentang ketidaksetaraan jender; ketidaksetaraan jender dianggap sebagai “alamiah” dan tak bisa diubah lagi. Yang demikian itu tentu saja merupakan penjelasan ilmiah-palsu, dan merupakan ideologi reaksioner. Cilakanya, penjelasan tersebut, sekarang ini, telah begitu meluas.

I. Biologi sebagai ideologi.

Mengapa kaum perempuan masih dianggap sebagai warga negara kelas dua? Mengapa mereka terpasa harus memilih antara menjadi ibu yang “baik” atau menjadi wanita (pemburu) karir yang “hanya mementingkan diri sendiri”? Mengapa kapasitas untuk melahirkan anak membatasi rentang pilihan yang tersedia bagi kaum perempuan, sementara kapasitas untuk menghasilkan anak tak membatasi kaum lelaki? Mengapa keluarga merupakan isu yang begitu penting dalam politik neo-liberal? Mengapa distribusi ekonomi dan kekuasaan sosial begitu tak setaranya di antara kaum lelaki dengan kaum perempuan?

Selama berabad-abad, telah terjadi debat tentang apa yang mementukan tingkah laku manusia: apakah sesuatu yang memang telah ada secara alamiah, atau memang timbul dari lingkungan sosial dan fisik tempat manusia itu hidup dan berinteraksi? Sekarang ini, beberapa teori mengaku bisa menjelaskan tingkah laku manusia didasarkan pada karakter “alamiahnya”―yang, sebenarnya, maknanya lebih ke landasan biologis. Kaum determinis-biologis berargumen bahwa biologis kita tak sekadar membentuk tingkah laku (keberadaan) manusia, namun juga menentukan ketidaksetaraan sosial dan ekonomi (dalam masyarakat berkelas, tentunya).

Penjelasan (varian paling akhir) sosiobiologi, yakni psikologi evolusioner adalah: bahwa ketidaksetaraan ras, etnik, kelas dan, khususnya, jender, itu dikarenakan penyesuaian genetik individual. Para penganutnya berargumen, misalnya, bahwa gen kita menentukan tingkah laku dan hubungan-hubungan lelaki-perempuan―yang tujuannya sekadar untuk memaksimalkan kesempatan-kesempatan menyukseskan reproduksi generasi mendatang. Itu artinya, bahwa peranan jender, perkawinan, praktek-praktek hukum dan lembaga keluarga merupakan turunan dari upaya untuk mereproduksi genetika.

Teori-teori tersebut seolah-olah memiliki keabsyahan ilmiah padahal, kenyataannya, merupakan pandangan yang parsial dan distorsif―merupakan pembenaran bagi ideologi status quo. Mereka berusaha membenarkan: bahwa sistim-sistim yang tak adil dan menghisap itu tak bisa ditolak, tak terhindarkan, dan tak bisa diubah, karena alamiah dan moralis.

Kaum determinis-biologis bukan lah pihak yang pertama kali berusaha untuk mendesakkan kebenaran moral pandangan: tatanan sosial sekarang ini alamiah, tak bisa diubah lagi. Bukan, mereka bukan yang mengawalinya namun, sayangnya, merupakan yang terakhir―ketenarannya dalam ilmu-ilmu alam semakin meningkat.

Keluarga Inti―Ayah, Ibu dan anak―Dianggap “Alamiah”

Sementara teori-teori ilmiah pada abad ke-19 (yang vulgar) sudah tak laku lagi; dan beberapa ideologi keagamaan, yang mengabsyahkan “absolutisme”, telah kehilangan daya penjelas lagi; namun pemahaman “alamiah”―yang berusaha menjelaskan segala gejala sosial―semakin meluas saja dan memiliki signifikansi budaya dalam meracuni varian-variannya yang baru. Coba saja pikir, bagaimana mungkin keluarga inti (yang terdiri dari ayah, ibu dan anak) diproyeksikan sebagai unit sosial yang alamiah, padahal terdapat berbagai hubungan-hubungan sosial antara berbagai individu dengan anak-anak, sekarang ini.

Itu tercermin dalam cerita-cerita yang kita dongengkan pada anak-anak. Ambil lah contoh dongeng tentang 3 beruang; bapak, ibu dan anak beruang hidup bahagia bersama dalam rumah mungilnya, sampai akhirnya diganggu oleh maling-licik bernama Goldlocks. Keluarga semacam itu begitu “alamiahnya”, sehingga gambarannya harus ditiru dalam kerajaan hewan. Itu lah yang disebut antropomorpisme―peniruan atribut-atribut tingkah laku manusia dalam kehidupan makhluk lain.

Realitasnya, berbeda sama sekali. Beruang betina dan jantan hanya beberapa saat saja berpasangan. Yang betina menyendiri bila hendak melahirkan, dan membesarkan bayinya sendirian. Seandainya pun yang jantan (“sang bapak”) mendatanginya, ia akan memandang sang bayi sebagai makanan lezat, bukan sebagai keturunannya (atau turunan genetikanya). Huh, begitu luasnya turunan penjelasan genetika!

Demikian pula dalam kebudayaan Barat, begitu penuh proyeksi kekeluargaan dalam kehidupan dunia hewannya, yang sebenarnya merupakan proyeksi historis keluarga dan saling-silang kebudayaan tipe-tipe masyarakat―sehingga dijadikan landasan “alamiah” unit masyarakat manusia. Tipe-tipe proyeksi demikian disebut etnosentrisme, atau mengatributkan bentuk organisasi sosial tertentu terhadap masayarakat di segala zaman dan tempat.

Bentuk keluarga semacam itu sudah menjadi lazim: terdiri dari bapak, sebagai kepala keluarga, pencari nafkah; Ibu, sebagai pengasuh, yang tugas utamanya adalah menjaga agar keluarga berada dalam keseimbangan sosial dan emosional; dan anak-anak, yang memiliki hubungan biologis terhadap kedua orang tuanya (dengan pengecualian, anak pungut) dan berada di bawah otoritas dan penjagaan kedua orang tuanya―dengan berbagai cara, tentunya.

Pengaturan tata cara hidup tersebut dikatakan telah ada sejak manusia turun dari pohon dan berubah menjadi makhluk yang baru. “Kealamiahan” pandangan tersebut dipertahankan dari segala sudut posisi: ilmiah, keagamaan, hukum, ekonomi dan sebagainya. Lelaki, sang bapak, begitu dominannya, pelindung dan kepala kelompok keluarga tersebut―patriarki. Perempuan lebih lemah dan, dalam hubungan tersebut, tersubordinasi di bawah kekuasaan dan perlindungan lelaki, sebagaimana juga anak-anak, pun demikian, sampai mereka dewasa dan sudah sanggup membina unit-unit keluarganya sendiri.

Peran kaum perempuan yang tersubordinasi tersebut telah diabsyahkan dalam makna fungsi-fungsinya yang, katanya, memang sudah melekat dari sananya, seperti melahitrkan dan membesarkan anak; subordinasi tersebut nampaknya dilandasi ciri biologis mereka, dan merupakan nasibnya―sekali lagi, huh, itu lah yang disebut sebagai “alamiah”.

***

Menyingkirkan Perempuan (II)

Penjelasan Teori Evolusioner
Kaum Marxis menentang penjelasan tersebut; kaum Marxis percaya bahwa kaum perempuan, dalam sejarahnya, tidak selalu mengalami penindasan. Penindasan terhadap kaum perempuan terbentuk pada tahap (tertentu) perkembangan sosial dan dilembagakan melalui keluarga. Dengan kata lain, penindasan perempuan adalah permasalahan sosial, bukan ditentukan secara biologis, dan hal itu terus berlanjut, berkali-kali mengalami perkembangan.
Tulisan ini akan menguji pembuktian terhadap cara pandang yang (sangat) berbeda dalam melihat formasi sosial, dan bagaimana formasi sosial tersebut menempatkan kaum perempuan pada posisi kelas-kedua serta memberikan kesempatan bagi ketidaksetaraan (yang dilembagakan) dalam skala yang lebih luas─bila masyarakatnya terbagi ke dalam kelas-kelas.
Apa yang dianggap sebagai sebuah “penjelasan yang valid”, sangat berbeda dalam berbagai ilmu pengetahuan di berikut ini. Teori-teori evolusioner cukup diterima dalam ilmu biologi, paleontologi, dan arkeologi, tapi dalam ilmu-ilmu sosial (sosiologi, dan, khususnya, antropologi), penjelasan teori evolusioner telah dihina, ditolak, dilabeli tidak ilmiah, diejek, atau diperlakukan sebagai hal yang tabu, karena─tentu saja─mereka melandasi argumen penolakannya pada beberapa teori reduksionisme biologis.
Usaha untuk menjejaki perkembangan spesies manusia dan upaya untuk menjelaskan berbagai bentuk organisasi sosial telah mereka tolak karena dianggap mekanistik dan tidak ilmiah. Contohnya, banyak orang menuduh bahwa penjelasan teori evolusioner pasti “unilineal” (yakni, bahwa masyarakat akan berkembang menurut arah tertentu, yang sudah bisa dipastikan). Yang lain berpendapat, bahwa kita hanya bisa menangkap sekadar kilasan-kilasan perbedaan bentuk-bentuk masyarakat dalam berbagai kurun (sebagaimana dijelaskan oleh teori-teori strukturalis/fungsionalis), tapi kita tak bisa, secara dinamis, memahami bagaimana masyarakat tersebut berubah, sekalipun di tahap yang berbeda. Jika kita hendak membandingkan dua tahap yang berbeda, menurut mereka, kita seharusnya tak boleh berupaya menarik gambaran jeneralisasi atau kesimpulan sejarah yang panjang/menyeluruh, tapi harus dibatasi pada observasi yang sempit/khusus dan pararel waktunya.
Banyak orang yang meneliti/menguji perubahan sosial, misalnya saja para teoritikus diffusionis, mengkajinya dengan menjejerkan peta-peta yang menunjukkan, misalnya, bahwa hubungan antara masyarakat A dengan masyarakat B bisa menjelaskan mengapa masyarakat tersebut memiki persamaan praktek-praktek sosial. Memang, hubungan semacam itu bisa menjadi sebabnya, tapi teori-teroi tersebut bersikeras bahwa itu lah satu-satunya cara untuk menjelaskan kesamaan sosial, padahal hubungan tersebut hanyalah sekadar salah satu cara untuk menjelaskan penyebab perubahan sosial.
Namun, tak ada penjelasan yang begitu salah kaprah selain penjelasan teori evolusioner saat harus menjelaskan masalah perbedaaan jender dan asal muasal penindasan terhadap kaum perempuan. Seorang Antropolog Marxis, Evelyn Reed, dalam bukunya Sexism and Science, berpendapat bahwa salah kaprah penjelasan teori evolusioner bukan karena landasan kajian bukti-buktinya tapi karena landasan politiknya─penolakan ilmuwan-ilmuwan sosial atas bukti-bukti yang dikumpulkan dari masyarakat ditata sedemikian rupa, menjadi beragam, sesuai dengan kehendak politiknya. Namun, perbedaan tersebut justru memberikan tantangan yang mengusik ideologi borjuis karena, menurutnya, kapitalisme merupakan puncak pencapaian manusia dan tak akan ada lagi perkembangan tipe atau bentuk masyarakat lebih jauh lagi─posisi “mengakhiri perkembangan sejarah”.

Doktrin Perbedaan Alamiah
Segala hal yang berkaitan dengan (keharusan) biologis merupakan kunci untuk menjelaskan tentang kelanjutan dan kemandegan perkembangan masyarakat, munculnya dominasi serta ketidaksetaraan dalam masyarakat manusia.
Ada dua versi utama dalam “doktrin perbedaan alamiah” tersebut, yang teori-teorinya didasarkan pada penjelasan biologis. Dalam versi yang pertama, masyarakat dianggap sebagai suatu lapisan atas tak bermakna (suatu suprastruktur gejala sekunder yang dibentuk oleh gejala primer) yang dibangun di atas landasan penjelasan biologis. Sedangkan dalam versi yang kedua, masyarakat dianggap sebagai pelengkap atau “embel-embel” bagi penjelasan biologis.
Dalam versi yang pertama, jender ditentukan oleh faktor biologis─makna istilah “jender” menurut pendekatan biologis adalah bahwa perilaku sosial dipahami sesuai dengan perbedaan jenis kelaminnya, walaupun pendekatan tersebut mengakui adanya beberapa wilayah problem yang tak sanggup membedakan antara jenis kelamin dengan jender). Perbedaan teori-teori tersebut merentang mulai dari yang melandaskan teorinya pada faktor hormonal─dapat dilihat pada teori laterisasi (yang berpendapat bahwa perbedaan kemampuan disebabkan oleh perbedaan kualitas di belahan otak)─hingga teori biogramer manusia Tiger dan Robin Fox─yang berpendapat bahwa program yang berlandaskan pada genetika bisa mempengaruhi manusia dalam cara tertentu, dan itu bukan dipengaruhi oleh instink, karena instink bisa direkayasa melalui kebudayaan hingga menjadi landasan utama yang mempengaruhi perilaku manusia. Tiger dan Fox berpendapat bahwa, karena 99% kehidupan manusia digunakan untuk berburu dan mengumpulkan bahan makanan, sedangkan berburu (dianggap) merupakan sumber kehidupan yang paling penting, maka kaum lelaki lebih agresif serta dominan (karena kaum lelaki lah yang hidupnya “terikat untuk berburu”)─landasannya: perbedaan hormonal antara kaum lelaki dan kaum perempuan. Itu lah sebabnya mengapa kaum lelaki tak terhindarkan akan menjadi pemimpin politik dalam masyarakat modern. Perempuan, tentu saja, sekadar akan menjadi penghasil dan perawat anak.
Yang bisa dimasukkan dalam kategori teori tersebut adalah teori sosio-biologi Edward Wilson dan David Barash, yang berlandas pada teori seleksi alam Charles Darwin. Teori tersebut menempatkan teori Darwin pada posisi yang ekstrim─dengan mendesakkan tujuan eksplisit dan arahan moral ke dalam proses evolusi.
Teori sosio-biologi berpendapat bahwa perilaku binatang dan manusia secara genetik diarahkan untuk memaksimalkan pengalihan gen-nya ke generasi penerusnya agar keturunannya bisa tetap hidup. Masing-masing jenis kelamin menggunakan strategi berbeda dalam memaksimalkan kesempatan tersebut. Teori-teori tersebut memberikan landasan bagi teori psikologi evolusioner. Barash, contohnya, mengatakan bahwa kaum lelaki menghasilkan jutaan sperma, sementara kaum perempuan hanya menghasilkan satu indung telur pada satu saat atau sekitar 400 indung telur sepanjang hidupnya. Karenanya, kaum lelaki berkepentingan membuahi sebanyak mungkin perempuan untuk memaksimalkan pengalihan gen-nya ke generasi berikutnya, sementara kaum perempuan, karena mengandung janin dalam tubuhnya, lebih mementingkan kualitas, karenanya berusaha mencari pasangan yang secara genetik paling sesuai.
Makna penjelasan tersebut bertujuan untuk mempertegas perbedaaan peran-peran jender. Kaum lelaki tidak terlalu selektif dalam melakukan hubungan. Ketimbang kaum lelaki, kaum perempuan lebih maklum, lebih siap, pada ketidaksetiaan pasangannya karena baginya hal itu bukan kerugian besar. Lain halnya jika kaum perempuan yang tak setia, kaum lelaki bisa saja mencurahkan enerjinya untuk membesarkan anak dari perempuan lain. Karena kaum perempuan sadar betul bahwa anak itu, secara genetik, adalah miliknya maka ia berkeinginan mencurahkan perhatian untuk merawatnya. Dengan demikian, dalam masyarakat modern, ia lebih berhasrat menjadi ibu rumah tangga.
Menurut pandangan tersebut, kaum perempuan, karena berkecenderungan mencari lelaki terbaik, berusaha menikahi lelaki dengan status sosial yang lebih tinggi. Kaum lelaki harus bersaing untuk memiliki perempuan karena kaum perempuan tak begitu banyak menghasilkan anak. Karenanya, lelaki yang lebih kuat dan lebih agresif akan lebih sukses─itu lah yang memperkuat dominasi kaum lelaki atas kaum perempuan. Dalam masyarakat pemburu dan pengumpul makanan, pemburu terbaik merupakan pemasok makanan terbaik. Perang dan penguasaan wilayah akarnya adalah hasrat, usaha, lelaki untuk memiliki perempuan, dan mencegah lelaki lain memilikinya. Teori tersebut bukan saja meletakan faktor keturunan langsung (berdasarkan genetik), tapi juga meletakan faktor keturunan langsung (berdasarkan sel telur) sebagai landasan perbedaan jender. Teori tersebut mengabaikan kenyataan bahwa, dalam masyarakat berburu, kaum lelaki berburu secara berkelompok, bukan secara individual.
Dalam rangkaian-kedua teori-teori yang dilandaskan pada faktor biologis, masyarakat tak dibatasi oleh faktor biologis tapi merupakan embel-embel bagi faktor biologis: masyarakat, secara budaya, akan memberikan penjelasan rinci tentang perbedaan antar jenis kelamin.
Sosiolog fungsionalis merupakan contoh bagi cara pandang tersebut. George P. Murdock berpendapat bahwa pembagian kerja secara seksual terkait dengan perbedaan biologis: kaum lelaki lebih kuat, kaum perempuan mengandung/merawat anak, dan perbedaan peran sosial tersebut merupakan cerminan yang paling sesuai dengan takdir biologisnya.
Talcot Parson mengedepankan suatu teori yang mengatakan bahwa kaum perempuan lebih “ekspresif” sedangkan kaum lelaki merupakan “instrumen”. Kaum perempuan, dalam keluarga inti, bertanggung jawab terhadap pergaulan anak remajanya dan kematangan/kestabilan kepribadian (lelaki) dewasa. Lelaki adalah pencari nafkah, yang bersaing dalam suatu masyarakat yang berorientasi-pada-prestasi yang bisa menyebabkan stress dan keterasingan; karenanya, mereka mebutuhkan kaum perempuan untuk menjaga keseimbangan.

Femisnisme radikal
Karakter ideologis teori-teori perbedaan alamiah diungkapkan dalam gelombang kedua gerakan pembebasan kaum perempuan, gerakan yang bertujuan untuk merubah posisi ekonomi dan sosial kaum perempuan. Namun, kekuatan dan isian budaya yang dilandaskan pada teori-teori biologis─yang digunakan untuk mengabsyahkan ketidaksetaraan kaum perempuan dan masyarakat berkelas (terutama dalam masyarakat kapitalisme)─menggiring mereka memasuki wilayah teori feminis.
Jadi, kaum feminis radikal menganggap bahwa perbedaan jender sebagai hal yang mendasar. Kelebihan kaum perempuan─menghasilkan dan memelihara anak─dipertentangkan dengan hakikat kaum lelaki─yang jahat, suka menyiksa, suka kekerasan, dan suka berperang. Dalam teori patriarki, ditekankan bahwa dominasi kaum lelaki akarnya adalah hakikat kaum lelaki yang suka kekerasan dan suka melakukan pemaksaan seksualitas. Karena kaum feminis radikal tak sanggup menyediakan satu pun penjelasan sosial tentang seksualitas tersebut, maka teori mereka berhenti pada penegasan bahwa perbedaan esensial tersebut hanya bisa dijelaskan oleh teori-teori yang landasannya biologis.
Beberapa pendahulu teoritikus feminis radikal terang-terangan menegaskan sebab-musabab biologis. Susan Brownmiller menganjurkan teori biologi struktural untuk menjelaskan perbedaan seksual. Shulamith Firestone menyuguhkan teori biologis reproduksi fungsional. Kate Millet mengedepankan teori kekuasaan kaum lelaki tanpa bisa dengan jernih menjelaskan landasan sosialnya.

Beberapa feminis radikal mengaku bahwa mereka menolak determinisme biologis, tapi mereka gagal memberikan penjelasan alternatif tentang penindasan terhadap kaum perempuan. Dalam prakteknya, mereka lebih suka memprioritaskan aktivitas-aktivitas yang mengacu pada seksualitas, teknologi reproduksi, perkosaan dan kekerasan seksual. Saat kaum feminis radikal mengunggulkan teori mereka yang, katanya, dilandaskan pada kepentingan kaum perempuan, yang tak ternoda oleh pikiran-pikiran kaum lelaki (teori-teori dan budaya kaum lelaki), mereka sebenarnya sedang mempertontonkan ketidakpedulian mereka terhadap bahaya-bahaya dari kesimpulan “bahwa perbedaan jender adalah alamiah adanya”, yang, bila tak ada penjelasan lainnya, maka mereka akan kembali berkutat pada teori-teori yang landasannya biologis.

Kesimpulan teori ekofeminis ditarik dari landasan yang sama. Mereka berpendapat bahwa terdapat paralelisasi antara ekploitasi terhadap alam dengan ekploitasi terhadap kaum perempuan yang dilakukan oleh masyarakat yang didominasi kaum lelaki, dan kaum perempuan lebih terikat pada alam saat mereka merawat anak dan bersosialisasi. Karenanya, bila alam “diperkosa” dan diekploatasi kaum lelaki maka hal yang sama pun akan menimpa kaum perempuan.

Kiasan “Ibu pertiwi/bumi”, secara harfiah, dimaknai oleh teori ekofeminis untuk menggambarkan kemampuan kaum perempuan dalam hal melahirkan anak, sama halnya denga bumi, rahim kehidupan. Kedekatan kaum perempuan dengan alam, atau hakikat alamiah kaum perempuan, katanya, memberikan nilai moral yang lebih tinggi bagi kaum perempuan, yang memiliki intuisi dan hubungan mistis dengan alam─karena mengalami “pengalaman” eksploitasi yang sama. Dengan demikian kaum perempuan akan memiliki “suara” yang lebih lantang dalam memelihara bumi, melawan eksploitasi dan ilmu pengetahuan kaum lelaki.

Pentingnya Teori Darwin

Seluruh teori perbedaan alamiah bermuara pada tipe-tipe penjelasan yang mengacu pada ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial abad ke19.

Pada abad ke-19, karakter ideologis penjelasannya berbeda dengan saat ini. Penjelasan tentang perkembangan sosial lebih mengacu pada kerangka agama, ketimbang pada kerangka ilmu pengetahuan. Penjelasan Sang Pencipta lah yang mendominasi: berdasarkan penjelasan sejarah tertulis (4.000 tahun S.M), Tuhan lah yang menciptakan masyarakat manusia. Dengan demikian, masyarakat manusia dimulai pada masa-masa awal masyarakat Mesir, atau lima kitab nabi Musa dijadikan sebagai landasan acuannya.
Eropasentrisme, yang mengunggulkan masyarakat kapitalis Eropa sebagai puncak peradaban, menyebabkan cara pandang yang berkesimpulan bahwa masyarakat apa pun yang berbeda dengannya, apakah itu masyarakat pemburu-pengumpul makanan atau masyarakat feodal, merupakan suatu kemunduran, suatu indikasi kemerosotan menuju status masyarakat binatang. Salah satu varian dari posisi tersebut berpendapat bahwa masyarakat yang mengambil jarak terhadap pusat kebudayaan (Eropa) bisa disimpulkan derajat kemundurannya. Pandangan semacam itu memberikan pengabsyahan ideologis bagi perbudakan rasial dan kolonialisme.

Dengan adanya kemajuan dalam ilmu pengetahuan maka penjelasan lama─penjelasan yang percaya pada keharusan takdir, yang memang cocok dengan dunia aristokrat agraris (sebelum terbentuk masyarakat kapitalisme industrial)─digantikan oleh tipe penjelasan yang lebih sesuai dengan lingkungan industri perkotaan, yang lebih kompetitif. Penjelasan baru tersebut berkisar di sekitar perdebatan tentang tempat manusia dalam alam.

Pengaruh teori Charles Darwin─evolusi spesies melalui seleksi alam dan variasi─begitu besarnya dan sangat kontroversial. Teorinya, secara relatif, sangat sederhana: organisme itu akan berubah-ubah, menjadi beragam, dan variasinya diwariskan (paling tidak sebagian) melalui keturunan. Organisme menghasilkan lebih banyak keturunannya ketimbang yang berhasil hidup dan, biasanya, keturunan yang lebih kuat lah (karena didukung oleh lingkungannya) yang akan berhasil hidup dan menyebar.

Teori Darwin didasarkan pada observasinya atas perkawinan domestik (ternak/tanaman sejenis) dan atas pengalaman perjalanannya ke Kepulauan Galapagos. Ia tak bisa menjelaskan bagaimana hal itu bisa terjadi selain memaparkannya secara material, tanpa mengacu pada intervensi takdir apa pun. Namun demikian, ungkapannya (tentang seleksi alam dan siapa kuat dia menang) bisa dan memang diterjemahkan seperti ini: sepertinya ada suatu entitas yang bisa menentukan siapa yang kuat dan siapa yang terpilih.

Interpretasi tersebut menjadi lebih kuat karena Darwin percaya pada teori populasi seorang pastor Inggris, Thomas Malthus, yang, pada tahun 1798, berpendapat bahwa kemiskinan dan ketimpangan sosial pasti bergerak menurut derajat/tingkat hitungan geometris, padahal produksi/persediaan makanan bergerak menurut derajat/hitungan aritmatika. Menurut Malthus, reformasi sosial untuk mengatasi ketimpangan sosial akan gagal dan ia, secara khusus, menentang tindakan untuk meringankan penderitaan orang-orang miskin, manula, atau orang-orang sakit karena hal tersebut akan memberikan semangat hidup dan akan meningkatkan tingkat kelahiran. Walaupun perkembangan/ perbaikan dalam produksi makanan membuktikan bahwa teori Malthus itu salah, namun idenya tentang “siapa yang kuat” (dalam populasi), pada abad ke-19 dan ke20, telah menjadi landasan bagi program-program untuk memperbaiki keturunan.

Darwin menerjemahkan dan menggambarkan teorinya tentang seleksi alam sejalan dengan gambaran suram yang diberikan oleh Malthus─perjuangan berdarah di antara spesies untuk memperebutkan sumberdaya yang langka. Tapi, sebenarnya, sukses reproduksi melalui seleksi alam bisa berjalan/berhasil melalui berbagai cara, bukan sekadar melalui kompetisi. Kerjasama, hidup berdampingan dan saling bantu juga merupakan kemungkinan yang lain, sebagaimana layaknya perubahan iklim dan migrasi bisa mengubah konteks saat seleksi alam terjadi.

Jadi, pertanyaan tentang tempat manusia dalam alam itu jelas dijawab dalam konteks yang benar-benar ideologis. Karena tak mau mempercayai keharusan takdir─yang dilandasi pemikiran adanya harmoni dalam alam dan masyarakat, sehingga segala sesuatu dan semua orang akan mendapatkan tempatnya yang layak─maka pandangan tentang Tuhan pun berubah─Kemahakuasaan diidentifikasi dengan hukum alam yang bisa mengatur-dirinya sendiri dan, karenanya, ketimpangan/ketidaksamaan dijelaskan menurut hirarki biologis. Jadi, sebenarnya, Ilmu pengetahuan tidak menggantikan Tuhan, tapi Tuhan diidentifikasi berdasarkan hukum alam.

Kiasan tersebut lebih diperluas lagi sehingga masyarakat dipahami sebagai organisme biologi: struktur kelompok-kelompok manusia mencerminkan bentuk-bentuk alam, dan hukum-hukum alam inheren dalam bentuk-bentuk tersebut. Pandangan seperti itu mengabsyahkan dominasi satu kelompok terhadap kelompok lainnya atas dasar perbedaan-perbedaan yang dianggap alamiah, tak terelakan dan, karenanya, moralis. Jadi, Eropasentris─yakni, asumsi-asumsi borjuis tentang kemajuan moral peradaban─ diterjemahkan ke dalam hirarki evolusioner orang-orang yang berharga secara sosial.

Mekanisme yang mendasari evolusi spesies telah diklarifikasi pada abad ke-20 dengan ditemukannya gen, kromosom dan DNA, variasi genetik dalam reproduksi seksual, serta dengan adanya efek kebetulan/kecelakaan dalam mutasi genetik. Tapi, karena genetika, kromosom atau DNA juga memberikan hambatan pada kehidupan, maka ada alasan untuk menempatkan orang pada posisi sosial dan ekonominya dengan menggunakan landasan biologi sebagai senjata sosial. Teori-teori semacam itu tak lain merupakan ideologi yang bersembunyi di balik jubah ilmu pengetahuan.

Pada kenyataannya, individu-individu merupakan produk dari interaksi kompleks antara warisan genetik, lingkungan dan peristiwa-peristiwa kebetulan yang akarnya bukan genetik atau pun lingkungan. Mengabsyahkan perbedaan status, kekayaan dan kekuasaan, dengan membebankan kesalahan pada perbedaan (yang, walaupun mencolok, namun dibuat-buat, cupet) warna kulit atau organ seksual, bisa menutupi ketimpangan sosial yang, sebenarnya, sistimatik.

***

ENGELS DAN EVOLUSI MANUSIA

Meskipun terbatas, teori Darwin telah mendorong persoalan asal-muasal species manusia ke dalam sebuah kerangka ilmiah. Ahli antropologi seperti Lewis Morgan, Edward Tylor, Jacob Bachofen dan James Fraser telah mulai mengembangkan teori-teori evolusi masyarakat, mempelajari awal mula munculnya masyarakat pra sejarah, bukan hanya dari fase peradaban (saat munculnya budaya tulis).
Morgan, contohnya, melihat dengan jelas perbedaan pada tiga jaman besar perkembangan masyarakat, yang disebut jaman kebuasan, barbarisme dan peradaban. Setiap jaman tersebut ditandai dengan kemajuan nyata dalam tingkatan aktivitas ekonomi, yaitu cara manusia memperoleh kebutuhan hidupnya. Walaupun setiap tahap terdiri dari sub-tahap, ditegaskan secara luas, jaman kebuasan didasarkan pada kegiatan berburu dan pengumpulan makanan, jaman barbarisme pada produksi makanan melalui holtikultura dan peternakan, serta jaman peradaban didasarkan pada budaya tulis dan pertanian.
Ada sebuah perbedaan yang tegas antara teori evolusioner dengan Marxisme serta teori lainnya seperti Darwinisme. Darwin menekankan kontinuitas pada perkembangan perbedaan spesies, lebih bercorak pada perubahan kuantitatif dan menitkberatkan sebuah lambatnya perubahan Di sisi lain Frederick Engels menganggap sebagai sebuah perubahan kualitas, sebuah diskontinuitas yang nyata khususnya pada perkembangan manusia sebagai sebuah spesies.
Inilah perbedaan antara pendekatan gradualisme dan pendekatan dialektis. Teori Darwin, meskipun di dalamnya dijelaskan beberapa aspek dari evolusi, tetapi hanya menceritakan sebagian dari kisah sejarah. Hal itu tak cukup untuk menjelaskan perubahan-perubahan cepat yang terjadi pada rekaman bukti fosil, seperti ledakan Cambrian, yang merupakan sesuatu yang dahsyat, cepat, serta dituturkan secara historis, penampakan yang sejaman dengan spesies baru, yang lebih lambat dengan evolusi spesies dari nenek moyang pada umumnya.
Ketika Darwin membuktikan bahwa manusia berkembang dari dunia binatang serta memisahkan nenek moyang yang biasanya dari kera yang paling tinggi, dia menjelaskan secara kritis tentang perubahan (pembesaran otak dan kemahiran berbicara), akan tetapi dia gagal menjelaskan bagaimana tahap dari perubahan ini. Engels, dalam tulisannya yang tak selesai “The Part Played by Labour in the Transition from Ape to Man”, mengerjakan peran ini.

Manusia sebagai Sebuah Hasil dari Kerja
Baik Engels maupun Darwin, keduanya menuliskan bahwa kera yang paling tinggi merupakan pra kondisi biologis yang utama bagi transisi: bertubuh tegak, berpenglihatan tajam, memiliki masa pertumbuhan serta menyusui yang lama, organ suara serta tangan bebas dengan ibu jari yang bisa disilangkan. Namun Engels mengembangkan sebuah teori hubungan interaktif dari perkembangan tersebut berdasar pada kerja dan memperluas penggunaan alat bantu sampai menjadi sebuah proses panjang yang membentuk perubahan fisik dari kera bertubuh tinggi kepada spesies yang lain.
Selain menyetujui pandangan yang telah tersebarluas bahwa perkembangan otak adalah tahap dasar dan yang terpenting dalam evolusi manusia, Engels justru berpendapat bahwa tahap pertama pastilah turun dari pohon, dengan sebuah evolusi menjadi bertubuh tegak. Adopsi sebuah tubuh tegak dan binatang berkaki dua yang bebas menggerakkan tangan dan perkembangan ini menambah kemampuannya dalam membuat dan menggunakan peralatan. Seiring dengan berjalannya waktu, hal ini membawa perubahan lebih lanjut pada struktur tangan, maka tangan bukan hanya sebagai “organ kerja” akan tetapi juga sebagai “produk kerja”.
Sebagaimana alat-alat kelengkapan binatang (cakar, taring, paruh, dll) merupakan bagian penting dari perbaikan fisik spesies serta interaksi binatang dengan alam merupakan bentuk dari respon langsung pada rangsangan lingkungan (ada beberapa hal khusus pembuatan alat sederhana, seperti simpanse menggunakan ranting untuk menangkap anai-anai, tetapi hal ini bersifat sporadis dan tidak terpusat pada makanan binatang), pembuatan dan penggunaan peralatan pada manusia merupakan aktivitas khusus yang mentransformasikan hubungan umat manusia dengan alam. Tanpa praktek kerja dan alat-alat kerja, manusia tidak akan memiliki asal-usul, tidak akan mampu bertahan hidup atau berkembang sebagai suatu spesies khusus. Sebagaimana dikemukakan oleh Engels :
“Penguasaan alam dimulai dengan perkembangan tangan, melalui kerja dan memperluas cakrawala manusia pada setiap kemajuan baru. Manusia secara terus-menerus menemukan suatu yang baru, hal yang tak diketahui sampai sekarang, milik obyek alam. Pada sisi lain, perkembangan kerja diperlukan untuk membantu mempererat hubungan antar anggota masyarakat melalui dukungan yang saling menguntungkan atas pembiakan, aktivitas bersama, serta dengan menjelaskan keuntungan dari kerjasama tersebut bagi tiap individu. Singkatnya, manusia menuju pada satu titik dimana mereka memiliki sesuatu untuk disampaikan pada sesamanya.“ (Engels, 1934, hal.173)
Kemampuan berbicara memberikan kelengkapan simbolik yang penting untuk mulai mengorganisir, memelihara dan menyebarluaskan pengalaman kerja kolektif manusia. Engels menguraikan sebuah hubungan timbal balik yang positif antara perkembangan umum dari kecakapan mental dengan peningkatan secara terus menerus dalam efisiensi serta kualitas kerja manusia. Kemampuan berbicara dan bekerja mendorong pertumbuhan
Sebagai rencana kegiatan di masa mendatang, identifikasi pemilikan obyek dan pembagian kerja di dalam proses kerja hadir secara lambat, hal itu juga terjadi dalam perkembangan sosial serta dalam konteks bekerjasama. Spesies menjadi beradab melalui kerja. Umpan balik tersebut tidaklah serta merta ada namun berkembang secara kumulatif; aktivitas kerja menjadi titik awal bagi kemajuan manusia.
Penjelasan secara dialektis dan materialis ini secara umum menggambarkan tesis Marx dan Engels bahwa produksi dan reproduksi dari kehidupan yang dekat menentukan unsur dari kehidupan sosial, dan termasuk juga produksi secara biologis dan ekonomis: produksi kebutuhan hidup (makanan, pakaian, perumahan, alat-alat untuk produksi) serta produksi manusia itu sendiri. Oleh karena itu, corak dari sebuah masyarakat pada satu titik perkembangan sejarahnya adalah ‘ditentukan melalui dua macam produksi: melalui tahap perkembangan kerja di satu sisi, serta keluarga pada sisi yang lain.” (Engels, 1970, hal.191)
Dari pemahaman ini, Engels menganalisa perkembangan masyarakat serta, pada sebuah tahap yang khusus, tentang penaklukan perempuan.
Perkembangan Sejarah Penaklukan Keluarga dan Perempuan
Dalam The Origin of the Family, Private Property and the State, Engels mengembangkan karya-karya Morgan dan para anthropolog evoluioner abad ke sembilan belas lainnya. Dia menerima gambaran umum yang diberikan Morgan tentang tiga tahap pokok evolusi sosial, tetapi memberikan penjelasan yang lebih jernih tentang perbedaan antara masyarakat primitif dan peradaban dengan menjelaskan bahwa tahapan selanjutnya adalah tahap perkembangan sosial dimana perbedaan kerja dan pertukaran komoditi antara masing-masing individu datang dari masa perkembangan tersebut. Hanya pada tahapan inilah penaklukan terhadap perempuan termanifestasi sepenuhnya.
Sebelum berlanjut pada teori Engels, perlu dicatat terdapat dua corak dari pengumpulan. Ada corak memperoleh nafkah dalam masa pre hominid( masa sebelum menemukan jagung sebagai makanan pokok) – pencarian makanan secara individu—dimana anda memakan apapun yang diperoleh, dan corak hominid atas pencarian nafkah – perundingan kolektif (dengan peralatan sistematis ) dimana makanan diperoleh kembali dan dibagi dalam kelompok sosial.
Sejarah barbarisme mencakup tiga periode. Dalam periode pertama, nenek moyang manusia menghasilkan produk alamiah, terutama buah-buahan, kacang-kacangan, umbi-umbian, dan lain sebagainya dalam iklim tropis atau subtropis, tetapi tidak memiliki bahasa yang maju. Pada tahapan kedua, terdapat penggunaan makanan laut, dan perkembangan api yang dipakai oleh nenek moyang untuk pemanas dari kondisi cuaca. Hal ini membuat perpindahan dan perkembangan dari peralatan baru pada awalnya meluas jangkauan pada produksi pangan kepada berburu dan meramu. Pada periode ketiga, berburu memperoleh kemajuan, diawali dengan menetap pada sebuah tempat, peralatan perkayuan menjadi maju, dan tenunan tangan, tenunan keranjang dan peralatan batu yang telah dipelitur muncul.
Periode sejarah sejarah barbarisme dari pengenalan pada tembikar dan perkembangan peternakan, diikuti dengan kemajuan tanah pertanian, yang mengembangkan produktifitas alam. Pada titik ini, perbedaan berganti antara Dunia lama (Afrika/Eropa/Asia) dan Dunia baru (Amerika) karena perbedaan alamiah dari dukungan benua, termasuk luas tanah untuk pertanian, binatang ternak dan logam untuk dilebur. Periode ini berakhir pada Dunia Lama dengan peleburan logam, perkembangan penemuan mata bajak dari besi oleh para peternak yang mengarahkan pada pertanian berskala luas, perkembangan populasi yang tinggi, konsentrasi masyarakat perkotaan dan perkembangan kerajinan dan perdagangan.
Sejarah peradaban dicirikan dengan spesialisasi kerajinan, pemisahan kota dan desa, produksi barang dagangan dan kemunculan kelas-kelas sosial, pemilikan pribadi, keluarga monogami dengan ayah sebagai kepala keluarga, dan negara.
Ketidaksetaraan jender mulai muncul pada sejarah kedua, dan berkembang maju secara penuh pada jaman peradaban.
Engels mengambil data antropologi dari Morgan dan para antropolog lainnya yang memperlihatkan kesetaraan sosial dari masyarakat primitif dan hubungan seksual yang dicirikan oleh produksi secara kolektif dan kepemilikan secara komunal. Dia juga mengambil rekonstruksi dari Morgan atas sejarah keluarga – hubungan sosial dan seksual dari masyarakat tertentu seperti yang mereka kembangkan dalam secara historis.
Unit dasar dari masyarakat barbar adalah sebuah keturunan garis ibu yang menggabungkan kelompok ibu, saudara laki-laki mereka dan anak-anak dari pihak ibu. Morgan menggunakan terminologi primitif untuk menggambarkan tahapan ini. Dia menegaskan perkembangan hubungan gender dari kebebasan seksual dan organisasi sosial yang berdasarkan pada peniruan kekerabatan melalui garis ibu, apa yang di sebutnya sebagai sebuah bentuk keluarga yang berdasarkan dengan pada siapa bisa melakukan hubungan seksual dan famili manakah yang membentuk satu kelompok sosial yang inti.
Pengucilan yang pertama kali untuk hubungan seksual adalah antara orangtua dan anak, kemudian dengan saudara kandung, kemudian dengan kategori tertentu dari saudara kandung lainnya melalui garis ibu (matrilineal). Hal ini mengarahkan, dalam tahapan akhir dari kebuasan dan tahapan pertama dari barbarisme, untuk memasangkan hubungan yang berdasarkan pada kesepakatan bersama dimana masing-masing pasangan mempunyai kemampuan untuk membubarkan hubungan. Engels mencirikan ‘keluarga berpasangan’ ini sebagai hal yang alami dan tampaknya sebagai tahap akhir dari evlolusi hubungan keluarga melalui seleksi alam.
Pemeliharan binatang dan perkembangan dari pemeliharaan persediaan makanan menambah lebih besar akumulasi kekayaan dan hal ini mengarahkannya pada hubungan sosial yang baru yang merubah hubungan jender. Kepemilikan kekayaan mulai dirubah dari kepemilikan klan (turun-temurun) kepada kepemilikan pribadi dalam keluarga. Bentuk lain dari kepemilikan juga mengakumulasi (peralatan logam, barang-barang mewah) dan kebutuhan akan perkembangan tenaga manusia.
Perempuan, sebagai sumber dari umat manusia, mulai dirubah sebagai milik yang berharga dan manusia lainnya mulai memakainya sebagai budak. Tenaga kerja tambahan diperbolehkan dalam perkembangan selanjutnya dalam perdagangan dan kerajinan seperti menenun, tembikar dan pertanian. Proses ini diikuti dengan sebuah tahap untuk memperkuat kepentingannya dari garis keturunan menurut bapak dan bapak dalam garis hubungan keluarga, sebaik tahap monogami dalam hubungan sosial.
Perkembangan kekayaan memberikan status yang lebih kepada keluarga dan memberikan rangsangan untuk menjatuhkan warisan matrilineal dalam rangka memapankan institusi patriarki. Engels berpendapat bahwa revolusi gender ini menggantikan dalam jaman pra sejarah., sebelum penciptaan tulisan, sehingga menjadi bagaimana dan kapan hal tersebut digantikan, belum diketahui. Tetapi hal itu bisa ditunjukkan secara etnografi.
Engels mengatakan,”kekalahan hak ibu adalah kekalahan historis jenis kelamin perempuan (Engels, 1970, hal 233). Laki-laki mengambil alih kendali atas rumah tangga, perempuan menjadi direndahkan dan dijadikan budak atas nafsu laki-laki serta perangkat untuk melahirkan anak. Sejatinya, kata keluarga berasal dari istilah latin famulus yang berarti pelayan keluarga, dan familia, keseluruhan budak adalah milik dari laki-laki , patriarki, yang mewarisi semua kemakmuran dan mempunyai kekuatan yang nyata melebihi semua anggota dari rumah tangga.
Singkatnya, kemudian, tidak seperti determinisme biologis lebih luas jenisnya, analisis Marx menolak evolusi pandangan dominan laki-laki dan membenarkan asal-usul perempuan dan hominid memegang peranan penting dalam perkembangan manusia.

***

Tidak ada komentar: